Fakfak – Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia memastikan perusahaan rempah asal Belanda, Verstegen, akan investasi di Fakfak, dan Kaimana, Papua Barat.
Menurut dia, investasi ini untuk mengembangkan kebun dan industri pala. Dan komitmen tersebut didapat dari hasil kunjungan kerjanya ke Belanda.
Hal itu disampaikan Bahlil Lahadali, Bos BKPM – RI melalui Press Releassenya yang disampaikan kepada mataradarindonesia.com, selasa, (24/11) malam,
“Jadi saya baru pulang dari Belanda dan bawa oleh-oleh untuk Papua. Di mana ada perusahaan, yang dulunya VOC, sekarang perusahaan itu namanya Verstegen, itu akan membangun 40 ribu hektare kebun pala di Fakfak dan Kaimana,” ujar dia dalam acara Kongres Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) yang diselenggarakan secara virtual, Senin (23/11/2020).
Dia berharap investasi ini akan dapat mendorong sektor usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) karena banyaknya masyarakat yang berkebun pala.
Kemudian, lanjut dia dengan investasi di bidang perkebunan dan pengolahan pala, diharapkan pula harga komoditas rempah tersebut bisa terdongkrak dan bisa memiliki pasar tersendiri.
“Investasi yang akan dilakukan dan 2021 sudah mulai. Dan kemarin saya sudah ngomong pada mereka untuk lakukan kerja sama pembangunan kebun termasuk industrinya di Papua Barat,” jelas dia.
Verstegen Spices & Sauces BV merupakan perusahaan produsen dan importir asal Belanda yang bergerak di sektor rempah-rempah. perusahaan itu juga mengimpor pala, kayu manis, lada hitam dan lada putih dari Indonesia.
“Saya ambil contoh, masa kerja 8 tahun ke atas itu 9 bulan upah dapat pesangonnya ditambah uang penghargaan masa kerja sebesar 3 bulan upah, uang penggantian hak 15 persen dari 12 bulan kira-kira 3 bulan, berarti total 15 bulan, mana yang 32 bulan upah? ga ada argumen itu yang bombastis dan mendramatisir,” katanya.
Ketiga adalah permasalahan outsourcing dimana dalam UU 11/2020 tidak ada batasan jenis pekerjaan dan tidak dibedakan antara kegiatan pokok dan penunjang.
Said menyebut, dengan adanya outsourcing maka tidak ada pekerjaan yang layak karena semua kegiatan pokok dalam proses produksi/jasa bisa menggunakan jasa outsorching.
“Di mana peran negara untuk melindungi agar para buruh bisa mendapatkan pekerjaan yang layak kalau dia dioutsourcing melalui agen? agen ga mungkin bayar pesangon kalau terjadi PHK terhadap pekerja outsourcing. itu yang disebut outsourcing seumur hidup,” ucapnya.
Keempat adalah tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) tidak ada batas waktu dan periode.
Menurut Said, dalam UU 13/2003 ada periode kontrak, kontrak satu maksimal dua tahun, kontrak dua maksimal satu tahun, kontrak tiga maksimal dua tahun.
Maksimal kontrak lima tahun dan maksimal periode kontrak tiga kali, sehingga jika pekerja sudah selesai periode kontrak maksimal dan batas waktu kontrak maksimal lima tahun sudah selesai, jika bagus dan perusahaan membutuhkan bisa jadi karyawan tetap.
“Di UU 11/2020, itu tidak terjadi, tidak ada periode kontrak dan tidak ada batas kontrak, orang dikontrak terus menerus, kalau begitu dimana negara melindungi itu? batu ujinya adalah UUD 1945 tentang berhak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak,” tuturnya.
Di luar hal tersebut, terdapat beberapa hal yang menjadi sorotan KSPI dalam gugatannya, seperti masalah panjang lembur yang melebihi waktu yang mengakibatkan pekerja menjadi lelah,
Kemudian persoalan PHK yang menghilangkan frasa batal demi hukum, kemudian tentang isu tenaga kerja asing yang tidak lagi membutuhkan izin tertulis menteri.
“Di UU 11/2020 tidak perlu menunggu izin tertulis TKA bisa langsung kerja, sambil kerja pengusaha pengguna TKA mengurus proses pengesahan, ini merampas hak pekerja lokal di batu uji UUD 1945,” ujarnya. (ret)