“Serangkaian kekhawatiran dan kecurigaan yang memantik sebentuk perlawanan dari AHY dan para petinggi Demokrat terhadap manuver Moeldoko tentu tidak berlebihan, bila mengingat kembali wajah perpolitikan Indonesia sejak dekade 2000-an. Hal serupa pernah menimpa beberapa partai politik diantaranya, Golkar pernah dibelah, Munas Bali Vs Munas Ancol, PPP Pernah dibelah, Muktamar Surabata Vs Jakarta Hanura pernah dibelah, OSO Vs Daryatmo, PKS pernah dibelah, Osin Vs Osan”
Jakarta / mataradarindonesia.com – Isu ‘kudeta’ Partai Demokrat yang diduga dilakukan orang dekat Istana dan Presiden Jokowi menyeruak ke permukaan setelah Ketua Umum DPP Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AYH) yang didampingi Ketua Dewan Kehormatan Hinca Pandjaitan, Ketua Mahkamah Partai Mayor Jenderal TNI (Purn) Nachrowi Ramli dan Sekretaris Jenderal Teuku Riefky Harsya, membeberkan kekhawatirannya tersebut kepada publik, Senin (1/2) kemarin.
Keterangan pers yang disampaikan secara langsung oleh Putra bungsu Presiden Keenam RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu bahkan menyebut selain orang dalam Istana Negara, ada beberapa orang lainnya yang terdiri dari kader aktif, kader yang sudah 6 tahun tidak aktif, kader yang 9 tahun lalu diberhentikan dengan tidak hormat, dan mantan kader yang telah keluar dari partai 3 tahun lalu yang berambisi merebut partai berlambang Bintang Mercy dan menggulingkannya dari puncak kepemimpinan.
Secara terbuka, Wasekjend DPP Partai Demokrat Andi Arief menyebut sosok ‘orang dekat Istana’ tersebut adalah Moeldoko. Seperti dalam cuitan Andi Arief, Senin (1/2/2021), “Siapa orang dekat Pak Jokowi yang mau mengambilalih kepemimpinan AHY di Demokrat, jawaban saya KSP Moeldoko.”
Situasi panas di dalam tubuh Demokrat tersebut menuai banyak komentar dan analisis dari pengamat politik nasional. Salahsatunya datang dari Direktur Eksekutif Sudut Demokrasi Riset dan Analisis (SUDRA), Fadhli Harahab, menurutnya bahwa, beredarnya isu tersebut berembus karena Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat yakni SBY mulai panik lantaran elektabilitas ‘putranya’ tak kunjung mengalami peningkatan alias belum moncer di papan survei
“Kepanikan SBY, karena dukungan terhadap AHY belum menunjukan kenaikan signifikan,” kata Fadhli di Jakarta, Selasa (2/2/2021).
Analis politik asal UIN Jakarta itu menilai kepanikan itu terlihat karena SBY menyadari berbagai momentum politik kedepan juga cukup berat.
Isu normalisasi Pilkada Serentak memberikan kontribusi atas kepanikan SBY lantaran, Demokrat yang tadinya mendapat dukungan mayoritas parpol tiba-tiba berubah arah menjadi pukulan bagi ‘Demokrat’ karena dinilai menutup jalan bagi AHY untuk membuktikan diri.
“Momentum Pilkada Serentak, khususnya DKI sebetulnya adalah ajang bagi AHY sebelum melenggang ke Pilpres 2024. Tetapi momen itu mendapat hadangan, sehingga kemungkinan besar Pilkada digelar setelah Pilpres 2024,” ujarnya.
Karenanya, Demokrat mulai memainkan strategi lain untuk dapat meraih simpati masyarakat melalui isu ‘intimidasi’ di internalnya. Fadhli menganggap, isu ini mengingatkan pola ‘playing victim‘ yang dinilai ampuh untuk merengkuh citra elektoral dari masyarakat.
“Citra yang ingin dibangun adalah adanya intimidasi dari pihak istana yang ingin memecah belah partai Demokrat,” pungkasnya.
Potensi dualisme
Pandangan senada terkait isu kudeta di dalam tubuh Partai Demokrat, juga disampaikan oleh Yusa’ Farchan, Direktur Eksekutif Citra Institute.
“Partai Demokrat sedang menghadapi masalah serius, khususnya terkait kepemimpinan partai. Keterlibatan kader aktif dan non aktif dalam upaya pengambilalihan kepemimpinan partai mengkonfirmasi ada hal yang dianggap tidak sehat dalam tubuh partai berlambang mercy tersebut”, ungkap Yusa’ melalui saluran telepon redaksi Elangnews.com, Selasa (2/2/2021). Yusa’ Farhan juga menambahkan bahwa, “Isu KLB yang digulirkan tentu menambah runyam konflik partai yang terjadi dan berpotensi melahirkan dualisme kepemimpinan partai.”
Saat partai menghadapi potensi dualisme sebagai dampak dari kurang moncer-nya elektabilitas seseorang maka, pendekatan analisis playing victim akan dibarengi dengan pendekatan lain, yang dikenal dengan nama gaslighting. Istilah yang sering digunakan oleh sebagian orang untuk merujuk pada cara memanipulasi yang dilakukan oleh seseorang untuk memberi kesan dan terlihat berkuasa.
Jika playing victim akan memposisikan diri sebagai korban, sedangkan gaslighting akan memposisikan diri untuk berkuasa mengontrol pemikiran orang lain agar mereka tidak percaya diri atas semua rencana yang sedang dijalani, sehingga berdampak pada berkurangnya keyakinan dan melemahnya serangan.
Serangkaian kekhawatiran dan kecurigaan yang memantik sebentuk perlawanan dari AHY dan para petinggi Demokrat terhadap manuver Moeldoko tentu tidak berlebihan, bila mengingat kembali wajah perpolitikan Indonesia sejak dekade 2000-an. Hal serupa pernah menimpa beberapa partai politik.
Konflik di Golkar tahun 2014 antara kubu Aburizal Bakri, yang saat itu tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) versus kubu Agung Laksono, yang mendukung Koalisi Indonesia Hebat (KIH). Begitu juga dengan konflik internal di PPP, antara kubu Djan Faridz atau Suryadarma Ali yang mendukung KMP versus Romahurmuziy yang tergabung dalam KIH. Konflik paling kontemporer juga menimpa Partai Berkarya antara Tommy Soeharto versus Muchdi Pr.
Publik akan memberikan penilaiannya sendiri atas setiap peristiwa politik di negeri ini. Apakah isu kudeta di dalam tubuh Partai Demokrat akan berujung dualisme? (trd/red)