Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia melakukan simulasi penyediaan kertas surat suara dalam rangka menjalankan tahapan pemilu di tahun 2024 mendatang,
Upaya KPU sederhanakan surat suara untuk pemilu 2024 tersebut karena pelaksanaan pemilu serentak sebagaimana pemilu tahun 2019 lalu, belum lagi kertas surat suara yang digunakan pemilih cukup banyak dan dianggap sangat menyulitkan.
Pasalnya, terdapat 5 jenis pemilu yang dilaksanakan, yakni Presiden, DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang dilaksanakan dalam satu waktu seperti tahun 2019 lalu.
Akibat hal ini, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu diminta menyederhanakan surat suara agar memudahkan pemilih, terlebih pada tahun 2024 mendatang, pemilu akan kembali dilaksanakan secara serentak.
Berdasarkan rilis yang ditayangkan Kompas.com, ada 6 Model Penyederhanaan surat suara yang dilakukan KPU untuk pelaksanaan Pemilu 2024. Simulasi ke-6 model surat suara tersebut telah dilakukan di internal KPU dengan menyiapkan 6 TPS serta enam varian surat suara itu.
Anggota KPU Evi Novida Ginting mengatakan, pihaknya telah melakukan kajian penelitian tentang penyederhanaan kertas surat suara yang akan digunakan pada pelaksaan pemilu tahun 2024 mendatang.
“Yang dilakukan pertama adalah simulasi secara internal. Saat simulasi, kami lakukan survei kecil yang diharapkan bisa menjadi langkah ke depan untuk melakukan simulasi berikutnya,” kata Evi di acara diskusi bertaju yang digelar Perludem secara daring, Minggu (1/8/2021).
Evi menjelaskan, untuk Model 1 surat suara adalah dengan menggabungkan 5 jenis pemilihan dalam satu surat suara, yakni Pemilihan Presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota dalam satu surat suara.
Dengan demikian, kata dia, maka surat suara pun cukup satu lembar, tidak lima lembar seperti sebelumnya. “Tata cara pemberian suaranya dengan menuliskan nomor urut pada kolom yang disediaka,
Jadi disiapkan kolomnya, kemudian gambar dan nomor urut partai di atas dan berurutan dari tingkat pemilihannya, DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota,” kata Evi.
Evi mengatakan, KPU menyiapkan daftar calon presiden di luar TPS, yakni di papan pengumuman. Sedangkan daftar para calon legislatif dan DPD ditempel di bilik suara. Dalam surat suara model ini, kata dia, foto para calon anggota DPD tidak dicantumkan.
Selanjutnya Model 2, yakni penggabungan 5 jenis pemilihan dalam satu surat suara. Perbedaan dengan Model 1 berupa susunan partai politik dan jenis pemilihannya.
“Kalau tadi (Model 1) dalam satu kolom terbagi 3 tingkatan, kalau ini bentuknya landscape dan dipisahkan daftar DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota jadi terpisah masing-masing tingkatan dengan partai politiknya,” terang Evi. Sama halnya dengan Model 1, daftar calon presiden pada model ini juga ditempel di papan pengumuman dan legislatif serta DPRD di dalam bilik suara.
Cara memilihnya pun dengan menulis nomor urut calon di dalam kolom yang disediakan di surat suara. Sementara Model 3, kata Evi, surat suara DPD dengan DPR, DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota dan Presiden dipisahkan.
“Jadi DPD surat suaranya khusus karena kami ingin sebagaimana dalam UU disebutkan, surat suara mencantumkan foto untuk Presiden dan DPD agar masih bisa menyesuaikan dengan UU,” kata Evi.
Sebab jika cara memilih di surat suara dengan menulis, kata dia, maka undang-undang (UU) Pemilu pun harus diubah karena dalam UU disebutkan dengan sangat spesifik bahwa memungut suara adalah dengan cara mencoblos.
Adapun yang membedakan Model 3 dengan Model 2 adalah surat suara DPD dengan pemilihan DPR, DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota serta letak partai politik tidak dalam 1 kolom tingkatan dengan DPR dan DPRD.
“Selanjutnya Model 4, penggabungan 5 jenis pemilihan dalam satu surat suara. perbedaannya, dalam surat suara, foto DPD bisa dicantumkan tapi ada keterbatasan. kami rancang bisanya hanya 20 foto,” kata dia.
Padahal di daerah, jumlah calon anggota DPD berbeda-beda bahkan ada yang hingga 40 orang. Sementara, kata dia, tata cara pemilihan Model 4 adalah dengan mengunakan pencoblosan.
“Jadi semua nama, nomor calon legislatif dicantumkan dalam surat suara, makanya surat suaranya jadi besar. Panjangnya 59,4 cm. Hanya kolom untuk mencoblosnya kelihatan kecil, jadi rapat antara satu calon dengan yang lain,” kata dia.
Pada Model 5, jelas Evi, surat suara DPD dengan calon presiden dan calon legislatif terpisah sehingga terdapat dua lembar surat suara.
Hal tersebut dilakukan supaya bisa memberikan ruang yang banyak bagi calon DPD lebih dari 20 orang. Metode yang digunakan dalam model ini adalah pencoblosan karena ukuran surat suara yang juga besar.
Sementara itu pada Model 6, metode pemilihan yang digunakan adalah mencontreng. “Jadi kami siapkan metode mencontreng dengan pemisahan surat suara DPD. kami memberikan khusus untuk DPD supaya bisa dapat ruang lebih bagi calonnya,” kata dia.
Belum memutuskan, meskipun demikian, kata Evi, hingga saat ini KPU belum memutuskan akan menggunakan penyederhanaan surat suara yang mana, dari 6 surat suara yang telah disimulasikan.
“KPU belum memutuskan yang mana, kita harus bahas ini dengan pembuat undang-undang (UU). KPU menawarkan (model penyederhanaan surat suara) diharapkan kami akan temukan pilihan-pilihan terbaik,” kata Evi.
Evi mengatakan, dari beberapa model yang disiapkan, pihaknya menyadari hal tersebut dapat memberikan konsekuensi terhadap perubahan UU.
Sebab, bila pemberian suara dengan cara tidak dicoblos, kata dia, maka perubahan UU Nomor 7 Tahun 2017 pada Pasal 353 dan 386 pun harus dilakukan.
“Kalau bisa tidak perlu ubah UU, tapi apabila pilihan itu jauh lebih baik dan perlu perubahan UU, kami akan mengusulkan perubahan UU,” kata dia.
Evi mengatakan, pihaknya akan membuat pilihan-pilihan model surat suara dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya.
Meskipun demikian, pihaknya akan tetap memperhatkan sistem pemilihan umum yang berlaku di Indonesia, cara menentukan calon terpilih serta hal lain yang menjadi alasan untuk menyederhanakan surat suara.
Oleh karena itu, KPU pun disebutkannya akan terus melakukan kajian terhadap beberapa model surat suara dan melakukan berbagai simulasi.
“Kami akan lakukan juga simulasi di beberapa daerah dan melakukan survei untuk mempertanyakan bagaimana tanggapan pemilih menggunakan surat suara yang sudah kami gabungkan atau tata cara pemilihan suaranya,” kata dia. Evi mengatakan, dari kajian-kajian tersebut nantinya pihaknya akan menyampaikannya kepada pembuat UU.
Pihaknya akan merumuskan kembali kajian tersebut apabila diterima dan dibahas oleh pembuat UU. “Kami harap apa yang dilakukan dapat jalannya untuk bisa diterapkan di Pemilu 2024,” ucap dia.
Ketua KPU Fakfak melalui Devisi Tekhnis Hasanudin Rettob menjelaskan bahwa KPU Kabupaten Fakfak tetap menunggu apa yang menjadi keputusan komisi pemilihan republik republik indonesia,
Ditanya mengenai jalanya tahapan di KPU Kabupaten Fakfak dalam rangka persiapan pemilu serentak tahun 2024, dia menjelaskan bahwa untuk rencana pelaksanaan tahapan dimulai bulan april tahun 2022,
“Rencana tahapan pilkada bulan april 2024, sementara tahapan pilpres dan pileg dimulai april tahun 2022 besok dan itu dimulainya dengan tahapan pendaftaran dan verifikasi parpol”, Singkatnya. (ret/Kompas.com)