Oleh : Abel Aditya, S.IP
(Pemerhati masalah politik dan keamanan Papua)
Undang-undang (UU) Nomor 2 tahun 2021 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua telah disahkan pada 15 Juli 2021 dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-23 Masa Persidangan V Tahun Sidang 2020-2021 dan disahkan oleh Presiden Joko Widodo pada 19 Juli 2021,
UU ini secara otomatis mengubah UU No. 35 Tahun 2008 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua Menjadi Undang-Undang dan UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua.
Berbagai aspirasi dan artikulasi kepentingan masyarakat telah diakomodasi pada butir-butir di dalamnya. Memang, mungkin tak semua harapan para elite politik dapat tertampung. Namun, disahkannya UU Otsus ini dinilai sangat penting bagi kemajuan Papua di masa mendatang, terutama sejak dikeluarkannya Undang-Undang ini pada tahun 2001.
Sebagaimana diketahui, Indonesia adalah negara yang mengakui keberagaman (Bhinneka Tunggal Ika), baik dari segi etnisitas, bahasa, maupun agama. Salah satu konsekuensi dari kebhinekaan tersebut adalah praktik demokrasi yang asimetris. Dalam artian, praktik demokrasi dilaksanakan dengan memperhatikan aspirasi-aspirasi yang menjadi muatan lokal.
Salah satu praktik demokrasi asimetris adalah adanya bentuk kewenangan otonomi daerah. Secara artian, pengertian otonomi dalam makna sempit dapat diartikan sebagai mandiri, sedangkan dalam makna yang lebih luas diartikan sebagai berdaya. Adapun secara definitif, otonomi daerah sebagaimana dituangkan pada Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diamandemen dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah, adalah “hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Munculnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua merupakan salah satu praktik langsung otonomi daerah. Sehingga, semangat dan prinsip dasar hadirnya UU Otsus Papua hendak memberi ruang lebih bagi Orang Asli Papua untuk membangun dan berkontribusi lebih banyak terhadap pembangunan daerahnya.
Sepanjang implementasinya, UU Otsus Papua diyakini telah berjalan dengan baik. Kendati demikian, masih terjadi sejumlah kendala-kendala— yang merupakan dinamika pemerintahan pada umumnya—seperti kendala birokrasi, penyelewengan, dan implementasi di lapangan.
UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Otsus Papua yang telah disahkan ini dinilai menjadi evaluasi serta pembaruan atas UU Otsus Papua yang lama. Berdasarkan sejumlah masukan, beberapa pasal yang ada di dalamnya dianggap perlu dievaluasi kembali karena wilayah Papua telah mengalami perkembangan yang cukup pesat, terutama dari segi tata kelola birokrasi serta pengelolaan hak-hak masyarakat.
Di sisi lain, perdebatan mengenai UU Otsus Papua juga tetap berkembang. Di antaranya berkenaan dengan pelibatan Orang Asli Papua dalam perumusan UU tersebut. Sejumlah pihak menilai bahwa OAP tidak dilibatkan secara penuh sehingga UU tersebut dianggap tidak sepenuhnya mewakili aspirasi masyarakat Papua.
Jika ditilik dari berbagai aspek, sebenarnya afirmasi atas hak-hak lokal Orang Asli Papua sudah sangat kental sejak berlakunya UU Otsus Papua tahun 2001 yang mengakomodasi kepentingan masyarakat Asli Papua. Dalam tataran politik representasi, barisan senator dan anggota DPR perwakilan Papua, DPRP, dan MRP terlibat sejak awal pembahasan. Sehingga, anggapan tidak dilibatkannya kepentingan masyarakat telah gugur dengan sendirinya karena jabatan-jabatan tersebut merupakan jabatan politik pilihan masyarakat dan mewakili unsur lokalitas serta berlangsung dalam koridor konstitusional.
Secara yuridis, UU Otsus Papua sendiri merupakan pengejawantahan secara riil kepentingan Orang Asli Papua. Beberapa hak-hak Orang Asli Papua tersebut diejawantahkan dan diperkuat seperti yang tertuang pada pasal 4 tentang kewenangan daerah, pasal 5, pasal 6, pasal 20, dan pasal 24 tentang bentuk dan susunan pemerintahan, pasal 28 tentang partai politik, pasal 34 dan pasal 36 tentang keuangan, pasal 38 tentang perekonomian.
Hadirnya UU Otsus Papua perubahan ini pun kembali menguatkan dan mempertegas upaya pembangunan Papua. Pada bab tentang bentuk dan susunan pemerintahanpasal 6 dan pasal 6A, misalnya, ditambahkan syarat diangkat dari unsur Orang Asli Papua. Hal ini dapat diartikan bahwa UU ini akan mengakomodir dan memberi perluasan hak politik kepada Orang Asli Papua. Pengangkatan anggota DPRPjalur Otsus dari yang mulanya hanya di tingkat provinsi, kini mencakup pada skala kabupaten/kota. Penambahan tersebut dinilai signifikan dan memiliki semangat untuk memberikan ruang yang luas bagi masyarakat Papua untuk mengembangkan dan memajukan wilayahnya sendiri, khususnya dalam rangka merumuskan kebijakan dan keputusan politik sesuai dengan nilai-nilai luhur yang dianut masyarakat.
Dari aspek pengelolaan keuangan, salah satu poin penting yang diperkuat adalah terkait penerimaan dan alokasi, yang tertuang pada pasal 34 tentang Keuangan ayat 3 huruf e, di mana ada ketentuan dana ditujukan untuk pembangunan, pemeliharaan, dan pelaksanaan pelayanan publik dan peningkatan kesejahteraan Orang Asli Papua dan penguatan lembaga adat. Di samping itu, terdapat pula ketentuan dana yang dialokasikan dengan berbasiskan kinerja, yakni untuk pendanaan pendidikan, kesehatan, dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.
Adapun terkait dengan persoalan tenaga kerja dan aktivitas ekonomi, terdapat perluasan kesempatan bagi Orang Asli Papua, sebagaimana tertuang pada pasal 38 perubahan. Ketentuan yang dimaksud yakni “dalam melakukan usaha-usaha perekonomian di Provinsi Papua, wajib memperhatikan sumber daya manusia setempat dengan mengutamakan Orang Asli Papua”. Dari kacamata pembanguna SDM, tentunya regulasi ini memberikan kesempatan yang sangat luas bagi seluruh masyarakat—terutama kalangan muda—untuk secara konkret berkontribusi bagi peningkatan kesejahteraan serta taraf hidup masyarakat dan adat.
Adapun pasal baru tentang pengawasan juga menjadi poin penting dalam UU ini. Sebagaimana termaktub pada pasal 68A, dalam rangka sinkronisasi, harmonisasi, evaluasi, dan koordinasi pelaksanaan Otonomi Khusus dan pembangunan di wilayah Papua, dibentuk suatu badan khusus yang bertanggung jawab secara langsung kepada Presiden. Pengawasan ini dimaksudkan untuk memperhatikan detail pembangunan di wilayah Papua sehingga selaras dengan yang dikehendaki oleh masyarakat Papua itu sendiri. Di sisi lain, pengawasan ini juga mengindikasikan perlunya pengawasan di tiap-tiap level instansi birokrasi sehingga upaya percepatan Papua menjadi lebih substansial dan bermanfaat bagi masyarakat luas.
Berdasarkan poin-poin di atas, UU Otsus Papua hasil revisi sejatinya telah memenuhi kaidah konstitusional dan menyerap aspirasi dari masyarakat Papua. Di samping itu, perbaikan pasal-pasal yang ada juga dinilai merupakan upaya mendorong percepatan pembangunan Papua.
Kendati semangat pembaruan telah tertuang dalam UU Otsus Papua, namun sejatinya pembangunan Papua yang lebih baik tak lepas dari peran dan kontribusi Orang Asli Papua itu sendiri. Sebab, yang mengenal dan merasakan setiap pembangunan yang ada adalah Orang Asli Papua selaku putra/putri daerah. Oleh karenanya, implementasi UU Otsus ini dinilai perlu untuk terus dikawal sehingga dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan membawa manfaat yang lebih besar, baik untuk saat ini, maupun bagi Papua di generasi yang akan datang. Terlebih lagi memasuki usia 76 tahun kemerdekaan Republik Indonesia, sudah saatnya seluruh masyarakat Papua mengambil kesempatan untuk mengawal imlementasi UU Otsus agar lebih tepat guna dan tepat sasaran bagi kesejahteraan dan kemajuan masayarakat Papua.