Meminjam pakai komentar ketua umum PGRI Pusat Unifah Rosyidi ketika diwawancarai Kompas TV beberapa hari lalu. Memang benar, sesuai fakta di lapangan bahwa kondisi keberadaan guru di negeri ini memang benar-benar berada pada ambang kritis yang membutuhkan langkah-langkah darurat untuk menyelamatkan sabib mereka yang ujung-ujungnya adalah penyelamatan Indonesia di masa mendatang.
Kenapa, karena nasib sebuah bangsa pada masa akan datang terpergantung pada kualitas SDM yang dibangun oleh generasinya yang hidup di masa sekarang ini. Siapa lagi kalau bukan guru sebagai ujung tonggaknya ?
Masalahnya adalah komitmen pemerintah terhadap nasib guru yang bukannya semakin memberikan harapan untuk bangkit, alih-alih memberdayakan mereka malah menyusahkan guru dengan beragam kebijakan yang sebenarnya tidak memiliki nilai kualitatif melainkan lebih banyak muatan politik praktisnya.
Pendidikan, jika sudah disusupi oleh nurani-nurani tidak benar maka ujung-ujungnya tidak membawa keberkahan, malahan mlapetaka yang selalu dihadirkan di sana.
Belajar dari pengalaman, bagaimana nasib guru di masa lalu dengan masa kini, sungguh beda langit dan bumi, jauh timur dan barat. Susah ditemukan kesamaan melainkan hanya kesamaan nama belaka. Kenapa? karena guru di zaman dulu masih dihargai dan dihormati ketimbang zaman sekarang yang menganggap guru tidak lebih sebagai pencari kerja untuk menafkahi keluarga seperti profesi lain-lain.
Guru dianggap sebagai “pekerja” yang eksistensi dan keberadannya tidak lebih dari sebuah mesin rezim yang jika dicap “nakal” atau berbeda akan segera dicopot dan dibuang tanpa kompensasi harga sebagai seorang terhormat di tengah masyarakat dan murid-muridnya.
Lihatlah, bagaimana UU guru dilahirkan dan dipraktekkan, relevansinya dengan beberapa UU lain yang terkadang menjadi batu sadung seperti UU Perlindungan anak yang atas alasan ini banyak guru dikriminalkan dan dipidanakan. Semestinya, UU guru harus memberikan perlindngan sempurna kepada insan pendidik untuk dapat mengejewantahkan diri dan perannya dalam melaksanakan tugas-tugas mendidik anak bangsa.
Kita sudah memasuki era kemerdekaan sekian lama, jika dibandingkan dengan umur manusia maka sudah di level kakek meski sebenarnya di urutan negara-negara dunia kita masih berusia belia jika dibandingkan dengan Hongaria yang sudah 1000 tahun usianya, Jepang yang dibentuk tahun 660 SM, atau Amerika Serikat yang sudah bersuia 240 tahun, Kita mash terlalu muda dan minim pengalaman dibandingkan mereka. Trus? Apa yang harus kita lakukan, apalagi apa yang kita banggakan ?
Kita seperti kata Anis Matta, harus berani menerobos lorong dan mengambil jalan pintas yang bisa kita ambil untuk memotong banyak waktu dan peluang yang tidak produktif untuk menjadi maju dan sukses. Kuncinya belajar dari mereka yang sudah sukses, belajar bagaimana mereka jatuh bangun membangun bangsanya, membangun pendidikannya, membangun SDMnya, dan segera mengambil tindakan untuk mengeksekusinya sebelum masa berlalu tanda membawa hasil apa-apa.
Di level ini, kita sebenarnya berada di tengah jalan yang berputar berkelok laksana labirin yang mudah dimasuki tapi sulit buat menemukan jalan keluar. UU guru sudah lahir, tetapi apa konsistensi semua pihak untuk mengawal UU ini agar efektif melahirkan geerasi bangsa yang bermartabat, berilmu pengetahuan dan beriman taqwa seperti visi misi kebanyakan lembaga pendidikan kita selama ini.
Pemerintah yang searusnya konsisten dengan amanat UU guru malah menjadi tidak koperatif terhadap nasib guru, maka lahirlah pandangan munis terhadap guru dari berbagai elemen, bahkan murid dan orang tua tidak segan-segan mempolisikan guru hanya lantaran tindakan-tindakan guru yang dinilai kasar, dan lain sebagainya yang kebanyakan dari tindakan-tindakan itu pernah dipraktekkan banyak guru di masa lalu yang melahirkan kedisiplinan dan budi pekerti siswa nakal.
Akhirnya, mari kita berdoa menanti pengumuman hasil tes PPPK guru yang diumukan esok pagi, dengan banyak berintrospeksi, semoga pendiidkan Indoensia bisa berbenah di tengah pembenahan nasib guru menuju yang lebih baik.