Yusril Ihza Mahendra:
“SAYA TIDAK BERURUSAN DENGAN PARTAI DEMOKRAT, SAYA JUGA BUKAN PENGACARA PAK MOELDOKO, SAYA PENGACARA PENGGUGAT YANG MENGAJUKAN JR AD/ART PARTAI DEMOKRAT KE MAHKAMAH AGUNG, JADI SALAH SAYA DIMANA”
Jakarta – Pengacara DPP Partai Demokrat Pimpinan AHY, Hamdan Zoelva menilai Permohonan Judicial Review (JR) formil dan materil yang diajukan 4 kader PD yang dipecat melalui pengacaranya Yusril Ihza Mahendra adalah permohonan yang aneh. Keanehan itu terjadi karena pihak yang dijadikan Termohon dalam JR kata justru Menkumham, bukan Partai Demokrat.
Padahal, tambah Hamdan, pihak yang paling signifikan didengar keterangannya dalam uji formil dan materil itu “adalah pihak yang membuat peraturan itu” (Tribunews 9/10/2021). Karena itu DPP PD kini mohon kepada MA agar menjadi “Pihak Terkait” dalam perkara, karena mereka merasa sebagai pihak “yang signifikan dimintai keterangan soal pembuatan AD/ART”.
Menanggapi keanehan yang dikemukakan Pengacara Partai Demokrat itu, melalui siaran Pers yang diterima mataradarindonesia.com, minggu, (10/10), Yusril Ihza Mahendra mengatakan aneh atau tidak anehnya permohonan itu tergantung kedalaman analisis pengacara yang ditunjuk PD untuk menangani perkara itu.
“Kalau analisisnya sambil lalu tentu terlihat aneh. Tetapi kalau dianlisis dalam-dalam justru sebaliknya, tidak ada yang aneh. Yang aneh justru sikap DPP Demokrat sendiri”, Terang Yusril.
Yang diuji, kata Yusril, bukan AD/ART PD ketika berdiri, tetapi AD perubahan tahun 2020. AD perubahan itu bukan produk DPP partai manapun termasuk Partai Demokrat. Susuai UU Parpol, yang berwenang merubah AD ART itu adalah lembaga tertinggi dalam struktur partai tersebut. Di PD, lembaga tertinggi itu adalah Kongres. AD Perubahan PD Tahun 2020 bukan produk DPP PD, tetapi produk Kongres PD tahun 2020.
Memang DPP partai berhak dan berwenang mewakili partai ke luar dan ke dalam, sebagaimana halnya Direksi Perseroan Terbatas berhak melakukan hal yang sama. Namun kewenangan itu tidak menyangkut perubahan anggaran dasar. Di partai kewenangan itu ada pada Kongres atau Muktamar. Sementara dalam perseroan terbatas, kewenangan itu ada pada Rapat Umum Pemegang Saham. Akan terjadi tindakan seenaknya jika DPP partai atau Direksi PT dapat mengubah Anggaran Dasar.
Yang aneh justru kalau pengacara DPP PD minta supaya DPP PD dijadikan sebagai pihak yang “paling signifikan memberi keterangan” atas Permohonan JR.
Apalagi menyebut DPP PD sebagai pihak yang membuat AD Perubahan. DPP PD hanyalah pihak yang diberi amanat atau mandat oleh kongres untuk mendaftarkan Perubahan AD/ART ke Kemenkumham. Di partai manapun keadaannya sama.
Kalau belum sidang MA sudah mengaku DPP PD sebagai pembuat AD/ART, maka pengakuan tersebut akan menjadi boomerang bagi PD sendiri. AD itu otomatis tidak sah karena dibuat oleh DPP PD sesuai pengakuan tersebut.
Dalam persidangan MA nanti, surat kuasa yang diberikan DPP PD kepada Hamdan Zulva bisa kami eksepsi sebagai surat kuasa yang tidak sah. Kuasa itu diberikan bukan oleh “pihak yang membuat” AD ART. Keterangan yang diberikan bukan oleh pihak yang berwenang memberikan keterangan tidak lebih dari sekedar “testimonium de audiu” yang tidak punya nilai pembuktian samasekali. Tetapi kalau pengacara DPP PD mau mencobanya, silahkan saja.
Kalau sekarang, DPP PD mohon kepada MA agar dijadikan Pihak Terkait, hal tersebut justru aneh. Di MK keberadaan pihak terkait, yakni pihak yang berkepentingan dengan suatu pengujian UU, memang ada dan dikenal. Tetapi di MA tidak ada satupun peraturan perundang-undangan yang mengatur keberadaan Pihak Terkait.
Jadi kalau gunakan logika hukum PD, permohonan menjadi Pihak Terkait itupun tidak kurang anehnya. Lebih aneh lagi, Hamdan menyebut PD sebagai pihak “pembuat AD”. Kalau merasa sebagai pihak pembuat AD yang relevan untuk memberikan keterangan di MA, mengapa justru memposisikan diri sebagai Pihak Terkait?
Selain alasan di atas, kami berpandangan bahwa AD ART partai manapun yang dibuat oleh kongres atau muktamar sebuqh partai barulah sah berlaku apabila ia disahkan oleh Menkumham dan dimuat di dalam Berita Negara. Demikian juga hasil kongres partai yang menyusun DPP baru dinyatakan sah jika telah disahkan oleh Menkumham dan diumumkan dalam Berita Negara.
DPP partai kubu manapun yang mengaku dirinya sah, pada akhirnya Pemerintah ataupun KPU tetap akan mengacu kepada Kepmenkumham sebagai pegangan demi kepastian hukum. Lihat saja bagaimana praktek selama Pemilu dan Pilkada. Demikian pula Anggaran Dasar Partai. Karena itu, adalah relevan jika Menkumham yang dijadikan Termohon dalam JR, bukan DPP Partai Demokrat yang juga samasekali bukan pihak yang membuat AD tersebut.
Andaikata Keterangan yang diberikan Menkumham nantinya tidak memuaskan Mahkamah Agung, bisa saja permohonan JR dikabulkan. Amar putusan MA misalnya menyatakan pasal2 tertentu dalam AD ART Partai Demokrat bertentangan dengan UU dan karenanya tidak mempunyai kekuatan mengingat.
Amar putusan selanjutnya adalah memerintahkan Menkumham untuk mencabut pengesahan AD PD. Karena dicabut, maka praktis PD tidak mempunyai AD yang sah. Dalam keadaan demikian, maka Menkumham tentu akan mengenbalikan maka masalahnya ke PD agar memperbaiki AD ARTnya sesuai dengan pertimbangan hukum dan amar Putusan MA tesebut.
Bagaimana PD memperbaiki ADnya, andaikata Putusan MA seperti itu, tentu bukan urusan saya lagi. Saya kan pengacara 4 orang anggota PD yang mereka pecat. Saya samasekali bukan Pengcara PD. Pengacara PD kan Pak Hamdan Zoelva, (ret)