Denny JA :
Apa yang terjadi jika pada akhirnya Gibran Rakabuming Raka dipilih menjadi calon wakil presiden Prabowo?
Ini pertanyaan susulan merespon berita yang kini mulai marak. Antara lain judul berita itu: “Gibran terbang ke Jakarta jelang penantuan cawapres Prabowo.” Judul berita lain: “Berkas pendaftaran Gibran sebagai cawapres Prabowo sudah siap.”
Bisa kita duga. Setelah ini isu dinasti politik itu akan semakin dihidup-hidupkan, semakin dinyala- nyalakan. Tentu motifnya beragam. Di antaranya, ini sudah menjadi bagian pertarungan politik, untuk menyerang Gibran, Prabowo dan juga Jokowi.
Namun bisa kita duga, isu dinasti politik ini tak akan panjang usianya. Di negara demokrasi, dinasti politik itu hal yang biasa-biasa saja.
Isu yang sama soal dinasti politik itu terjadi tak hanya di Indonesia. Ia juga terjadi di negara demokrasi maju di Eropa dan di Amerika Serikat.
Di Indonesia misalnya, kita bisa juga melihat contoh yang lain. Putri Puan Maharani bernama Pinka Haprani maju menjadi caleg DPR RI dapil Jateng IV. Pinka Haprani maju menjadi caleg ketika ibunya, Puan Maharani, masih menjadi ketua DPR RI. Itu biasa dan OK saja.
Apalagi kita tahu, dalam keluarga Bung Karno, tradisi dinasti itu bahkan sudah empat generasi. Empat jenjang keturunan. Yakni dari Bung Karno ke putrinya Megawati, ke cucunya Puan Maharani, lalu ke cicitnya Pinka Haprani.
Hal yang sama juga terjadi pada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dari SBY lalu mengalir ke Agus Harimurti Yudoyono dan kemudian juga ke Edhie Baskoro Yudoyono.
Bahkan di luar negeri, hal yang sama juga terjadi. Di Amerika Serikat misalnya, ketika John F Kennedy menjadi presiden Amerika Serikat, di momen itu juga, adiknya Ted Kennedy terpilih sebagai anggota Senator.
Di Amerika Serikat ada pulan George Bush senior, dan anaknya George Bush Junior, dua duanya malah menjadi Presiden Amerika Serikat. Ada juga Jeff Bush, anaknya yang lain, menjadi gubernur di Florida.
Di India, ada Nehru. Lalu kursi Perdana Menteri dilanjutkan oleh putrinya indira Gandhi. Kemudian dilanjutkan lagi oleh cucunya Rajiv Gandhi.
Mengapa dinasti politik itu hal yang biasa saja di negara demokrasi? Itu bagian dari konsekwensi prinsip demokrasi.
Dalam demokrasi berlaku prinsip persamaan hak. Semua warga negara sama haknya untuk menjadi pemimpin. Seorang warga tak boleh didiskriminasi walau ia anak petani ataupun ia anak presiden.
Juga dalam sistem demokrasi, konstitusi sebagai aturan main yang tertinggi, tak ada larangan di sana. Misalnya tak ada larangan seorang anak presiden, anak Gubernur, anak Walikota tak boleh menjadi pemimpin nasional jika ayah atau ibunya masih menjabat.
Tak ada larangan itu di Indonesia, Inggris, Amerika Serikat, dan banyak negara lain. Yang tak dilarang oleh konstitusi mengapa pula dilarang oleh opini publik?
Apalagi pada akhirnya, penentuan terpilih atau tidaknya seorang pemimpin ada pada pemilihan umum. Rakyat menjadi hakim tertinggi melalui kotak suara.
Contoh sederhananya di keluarga Bung Karno sendiri. Ketika Megawati memimpin PDIP, rakyat membesarkan PDIP. Tapi ketika anak Bung Karno lain membuat partai yang lain, Sukmawati, juga Rahmawati, rakyat tak memilihnya. Dua partai lain, sama-sama didirikan Putri Bung Karno, gagal.
Juga kita juga melihat contoh keluarga Pak Harto. Tommy Soeharto mendirikan Partai Berkarya, partai itu pun hilang, tak lagi punya peran signifikan, karena rakyat tidak memilihnya.
Jika Gibran menjadi calan wakil presiden Prabowo, rakyat pula yang akan menjadi penentu.
Memang Gibran potensial membawa pemilih gerbong suara generasi milineal yang hampir 50 persen populasi pemilih itu.
Gibran juga potensial mengurangi suara Ganjar di Jawa Tengah. Dan potensial menarik pemilih yang mayoritas masih puas dengan kinerja Jokowi sebagai Presiden.