Jakarta – Data pribadi yang kerap bocor dan disalahgunakan mendorong DPR dan Pemerintah merancang Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2024 Tentang Pelindungan Data Pribadi (PDP). UU PDP disahkan pada Rabu, 20 September 2022 dan baru akan mulai berlaku penuh pada 17 Oktober 2024 mendatang.
Namun, kontroversi muncul ketika data pribadi berkaitan dengan kerja-kerja jurnalistik. Sebab, sejumlah data pribadi yang disebutkan dalam UU PDP seperti catatan kejahatan dan daftar kekayaan pejabat yang kerap diungkap dalam pemberitaan atau investigasi rawan terjerat UU PDP.
Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Ade Wahyudin, UU PDP tidak hanya berpotensi menjerat jurnalis dan media, tetapi juga masyarakat umum, aktivis, dan peneliti yang berusaha mengungkap objek-objek penelitian terkait data pribadi.
“Sanksi pidana di UU PDP itu sangat lentur, itu tidak hanya bisa menjerat jurnalis, tetapi juga masyarakat umum sangat bisa dijerat. Karena di situ penyebutannya secara luas, melakukan penyebaran data pribadi saja dianggap melawan hukum dan bisa dipidana,” jelas Ade Wahyudin, Selasa (24/9/2024) kemarin.
Ia mencontohkan, ketika lembaga penelitian seperti Indonesian Corruption Watch (ICW) yang sedang melakukan riset terhadap kasus korupsi pejabat tertentu. Menurutnya, tentu saja aktivitas tersebut bakal berkaitan dengan data pribadi, baik harta kekayaannya di mana, disimpan di mana, dan sebagainya.
Ade menjelaskan, jurnalis yang tidak masuk dalam pengecualian pada UU PDP berpotensi menghambat kerja-kerja jurnalistik karena jurnalis bekerja demi kepentingan publik yang dijamin UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
“Karena tidak adanya pengecualian khusus, sehingga kerja-kerja jurnalistik berpotensi terhambat, ketika produk jurnalistik memublikasikan data-data pribadi objek pemberitaan,” ujar Ade.
Pengecualian-pengecualian yang masuk dalam UU PDP, lanjut Ade, hanya masuk dalam pengecualian kerja-kerja pemerintahan, tapi tidak dibuka secara luas sama. Padahal menurutnya, kepentingan umum itu tidak hanya yang dilakukan oleh pemerintah, tapi juga kerja-kerja untuk kepentingan umum di luar kerja-kerja pemerintahan, salah satunya kerja jurnalistik.
“Kerja-kerja jurnalistik menurut mandat UU Pers bekerja untuk kepentingan umum. Kepentingan umumnya apa? Kepentingan umumnya ialah untuk keterbukaan informasi, untuk akses informasi, dan lainnya,” terang Ade.
Seperti diketahui, Pasal 15 ayat (1) UU PDP tidak memberi pengecualian penggunaan data pribadi untuk kepentingan publik, khususnya pemenuhan hak berekspresi dan mendapat data/informasi untuk kepentingan publik. Pengecualian Pasal 15 ayat (1) UU PDP tersebut hanya untuk 5 hal.
Pertama, kepentingan pertahanan dan keamanan nasional. Kedua, kepentingan proses penegakan hukum. Ketiga, kepentingan umum dalam rangka penyelenggaraan negara, Keempat, kepentingan pengawasan sektor jasa keuangan, moneter, sistem pembayaran, dan stabilitas sistem keuangan yang dilakukan dalam rangka penyelenggaraan negara. Kelima, kepentingan statistik dan penelitian ilmiah. Karena di UU PDP kerja-kerja jurnalistik tidak memiliki pengecualian, kata Ade, akhirnya produk jurnalistik yang memuat data pribadi pejabat publik bisa kena hukuman.
“Hukumannya dua dalam UU PDP, satu pidana penyebaran data pribadi, kedua sanksi administratif untuk perusahaan medianya, untuk pemroses dan pengendali data pribadinya. Potensi itu sangat kencang,” tegas Ade.
Sementara itu, Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Nani Afrida mengatakan bahwa UU Pers dan UU Keterbukaan Informasi Publik dengan UU PDP cenderung tumpang tindih atau over lapping. Menurutnya, UU Pers jelas mengatur kerja-kerja jurnalistik. Sementara UU Keterbukaan Informasi Publik mengizinkan wartawan untuk mengakses informasi publik jika seandainya data tersebut berkaitan dengan kepentingan umum.
“Kalau untuk kepentingan umum, kita (jurnalis) memang harus bekerja, dan kita dilindungi oleh UU Pers dan UU KIP,” jelas Nani Afrida dihubungi NU Online, Selasa (24/9/2024).
Hal yang dikhawatirkan, kata Nani, ketika wartawan mengulik data pribadi terkait kasus korupsi atau kasus kejahatan lainnya. Biasanya wartawan akan mengulik dapat pribadi, sehingga berpotensi terjerat. Sebab, menurutnya, Pasal 4 UU PDP yang menyatakan tentang frasa “catatan kejahatan” bisa dimaknai secara luas karena jurnalis tidak masuk pengecualian.
Pasal 4 ayat (2) UU PDP mengatur 7 jenis data pribadi yang bersifat spesifik yakni data dan informasi kesehatan; biometrik; genetika; catatan kejahatan; data anak; data keuangan pribadi; dan/atau data lainnya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kemudian Pasal 65 ayat (2) UU PDP juga rawan menjerat aktivis dan jurnalis karena tidak ada penjelasan rinci terhadap frasa “melawan hukum.” “Frasa ‘melawan hukum’ ini belum jelas, berpotensi jadi pasal karet.
Misal kita membuka kasus korupsi oleh pejabat negara, jangan-jangan nanti kita dianggap melawan hukum,” ujar Nani.
Ia berharap, berbagai pasal-pasal yang dinilai karet tersebut dapat dijelaskan lebih rinci dalam peraturan pelaksana (aturan turunan dari UU PDP), yaitu peraturan pemerintah (PP). Walaupun tidak menutup kemungkinan bahwa pihaknya akan melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK).
“Tidak menutup kemungkinan ke depannya kita akan melakukan judicial review. Tapi saat ini yang bisa kita lakukan adalah melakukan sosialisasi besar-besaran kepada jurnalis dan media soal UU PDP, agar jurnalis bisa tetap bekerja tanpa melanggar UU ini,” tandas Nani.