Sorotan – Tugas Calon Bupati dan Wakil Bupati Fakfak bersama gerbong masing-masing adalah bermanuver untuk meyakinkan Partai Politik di Jakarta khususnya yang memiliki Kursi di DPRD Fakfak agar bisa memberikan dukungan berupa B1KWK dalam rangka memenuhi syarat 20 persen maju pilkada fakfak 2024.
Hingga saat ini beberapa Calon Bupati Fakfak ternama masih terus bergerilya bahkan melakukan tawaf keliling DPP Partai Politik di Jakarta. Mereka selain membawah hasil / bukti pendaftaran di Partai Politik tingkat Kabupaten Fakfak, para Calon Wakil Rakyat ini juga tentu memiliki gagasan rencana membangun Fakfak kedepan kearah yang lebih baik.
Jika tugas Kandidat Calon Bupati dan Wakil Bupati Fakfak untuk mengurus dan meloby rekomendasi (B1KWK) dari Parpol pengusung maka tugas tim sukses yang sudah terbentuk maupun yang masih membangun komunikasi dan konsolidasi untuk senantiasa menjaga keamanan dan ketertiban agar tidak terjadi gesekan diantara tim yang bisa mengakibatkan terjadinya gangguan keamanan, bahwa tugas keamanan adalah menjadi tanggungjawab semua masyarakat, terutama Kandidat dan Tim Sukses.
Saat ini setidaknya ada 6 Bakal Calon Bupati dan Wakil Bupati Fakfak dari jalur Koalisi Partai Politik. Pasangan Samaun Dahlan – Donatus Nimbitkendik, Pasangan Untung Tamsil – Yohana Dina Himdom, Pasangan Abdul Karim Anggiluli – Chaerudin Pawiloy, Pasangan Sarbani Rumanais – Safi Yarkuran, sementara Abdul Razak Ibrahim Rengen belum tentukan Wakil. Berbeda dengan Saleh Siknun, minta Pasangan Wakilnya dirahasiakan.
Diluar 6 Calon Bupati Fakfak dari Koalisi Partai Politik. Ada Calon dari Jalur Perseorangan yaitu Immanuel Komber berpasangan dengan Rico Thie. Tahapan terhadap Calon Perseorangan ini sudah masuk di Verifikasi Administrasi menunggu pelaksanaan Verifikasi lapangan untuk menguji keabsahan dukungan KTP warga. Apakah dokumen tersebut memenuhi syarat atau tidak.
Calon Bupati Fakfak yang sudah mendaftar di beberapa Partai Politik ini sebagian besar berkasnya sudah diajukan ke DPP melalui partai masing-masing, sekarang menunggu proses di DPP setelah di verifikasi di Tingkat Kabupaten dan Provinsi, Siapa yang akan memiliki rekomendasi berdasarkan ketentuan syarat pencalonan untuk maju pilkada fakfak. Kita menunggu.
Sebetulnya. Tawaf keliling DPP setiap musim Pilkada adalah hal yang biasa-biasa saja karena memang itu sesuai dengan perintah ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan turunan aturan lainya, sebab jika seorang peserta Calon dalam dukungan koalisi partai politik tidak mencapai sebagaimana syarat dukungan yang ditetapkan penyelenggara pemilu KPU maka dianggap tidak memenuhi syarat karena itu harus bergerilya dan tawaf agar bisa mencapai dukungan maskimal tersebut.
Ada sejumlah regulasi yang sampai hari ini masih menjadi perdebatan namun hampir tidak bisa diakomodir oleh penyelenggara pemilu salah satunya adalah soal status Orang Asli Papua. MRP Se-Tanah papua kemudian juga mengeluarkan imbauan dan edaran untuk penyelenggara harus bisa memfilter syarat orang asli papua maju pemilukada 2024, partai politik sendiri ketika membuka pendaftaran kemarin tidak mencantumkan syarat calon kepala daerah yang mengajukan berkas ke partai-partai tidak mewajibkan harus orang asli papua
Semangat kearifan lokal ini harus disikapi sebagi sebuah azas demokrasi yang sangat terbuka namun butuh legal standing yang cukup kuat sehingga menjadi pedoman dan kompas bagi penyelenggara pemilu 2024. Sebab mengakomodir sesuatu diluar aturan dan berpedoman pada sebuah kesepakatan maka bisa berakibat fatal demi hukum, KPU khususnya di Papua tidak ingin bertindak diluar aturan yang bisa mengikat diri mereka sendiri. Seharusnya ada regulasi jelas yang tertuang didalam ketentuan pemilu selain UU Otonomi Khusus bagi provinsi papua.
Soal lain adalah, turunan dari uandang-undang yang berlaku maka setiap Penjabat Kepala Daerah baik itu Gubernur, Bupati maupun Walikota yang ingin maju Calon pada pilkada serentak tahun 2024 maka segera mangajukan pengunduran diri ke Kementerian Dalam Negeri untuk diproses pemberhentianya sebab majunya seorang Penjabat sebagai Kepala Daerah pasti sangat mengganggu jalanya proses pelayanan pemerintahan di daerah yang bersangkutan sebab waktunya masa kepemimpinan seorang penjabat hanya setahun sehingga jika ada yang mengundurkan diri maka segeralah pemerintah turunkan penjabat yang baru.
Ketentuan dimaksud juga tengarai Anggota DPR/DPD/DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota. Mereka yang ingin maju sebagai Calon Gubernur, Bupati dan Walikota pada Pilkada serentak tahun 2024 maka diwajibkan agar harus mundur dari jabatan yang diemban saat ini, sedangkan untuk kepala daerah aktif mereka hanya bisa mengambil cuti selama masa kampanye, Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) minta kepala daerah mematuhi Undang-undang tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), semua kepala daerah yang akan maju Pilkada, harus cuti saat masa kampanye mulai 23 September 2024 sampai 25 November 2024.
Pilkada Serentak Tahun 2024 kali ini dipandang sebagai sebuah media yang harus dimanfaatkan rakyat untuk mengevaluasi jalanya sebuah pemerintahan dan kritikan yang disampaikan setiap saat oleh masyarakat adalah sebuah kekhawatiran yang memang harus diterima oleh pejabat setiap kepala daerah dan perangkatnya sebab rakyatlah yang memberikan gaji kepada kepala daerah melalui sumabangan atau pajak sumber PAD untuk bekerja melayani rakyat sehingga harus ada bentuk control yang dilakukan demi keberlangsungan kehidupan berdemokrasi berbangsa dan bernegara. Tentu rakyat butuh sentuhan pelayanan bukan butuh sentuhan segudang janji yang tak tersampaikan.
Bahwa Pilkada serentak tahun 2024 ini patut kita akui membutuhkan anggaran cukup besar, Pemerintah harus menggelontorkan anggaran yang cukup besar bentuk hibah kepada dua lembaga penyelenggara pemilu yakni. Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu diberbagai Daerah termasuk Kabupaten Fakfak, anggaran yang nilainya sangat fantastis diangka puluhan miliar ini diharapkan mampu melahirkan seorang pemimpin yang betul-betul membangun daerah dengan berbagai inovasi pembangunan, penyelenggara harus mampu memberikan sosialisasi kepada masyarakat secara efektif untuk dapat menggunakan hak politiknya pada pemilu serentak tahun 2024 mendatang.
Kalau anggaran pilkada sudah mahal. Pertanyaan kemudian apakah Calon Kepala Daerah tidak keluarkan uang?, pertanyaan ini patut kita bahas secara detail bahwa seorang Calon Kepala Daerah ditingkat Gubernur hampir ratusan miliar, untuk Bupati/Walikota kisaran puluhan miliar. Pertanyaan lanjutan, anggaran tersebut didapatkan dari mana, kalau saja petahana maju. Apakah dia menggunakan dana APBD ataukah menggunakan dana dari mana, berbeda dengan seorang pengusaha pasti memiliki anggaran yang bukan bersumber dari uang negara.
Rakyat harus cerdas memilih dan memilah. Siapa yang menggunakan uang negara untuk kepentingan mobilisasi politik 2024. Calon Kepala Daerah Petahana kah atau Calon Kepala Daerah Pengusaha?, rakyat seharusnya tidak enggan untuk mengkritik kebijakan pemerintah karena seorang petahana yang maju calon sebagai kepala daerah maka diduga bisa gunakan uang negara dan ketika terpilih lagi dia tidak akan melayani rakyat dengan baik karena harus mengumpulkan uang untuk membayar hutang politik rekomendasi. Apalagi periode terakhir dia tidak akan melaksanakan tugas pelayanan secara efektif. Tetapi kalau Calon dari kalangan pengusaha susah untuk dikendalikan orang karena dia tau mana uang negara dan mana uang bisnisnya.
Mari kita bernadai-andai, kita baru saja selesai dari hiruk pikuk perpolitikan nasional yaitu Pilpres dan Pileg. Untuk Pilpres para kandidat dan timnya berdarah-darah, mereka baik yang kalah maupun menang mengeluarkan anggaran hingga ratusan triliunan rupiah untuk operasional kampanye dan lain-lain. Bagi yang menang saatnya berupaya untuk tutupi kembali yang telah dikeluarkan. Namun bagi yang kalah tentunya menerima segala resiko buruk yang sudah terjadi, jadi antara yang menang maupun yang kalah sama-sama mengeluarkan uang bedanya yang kalah susah untuk mengamblikan modalnya namun yang menang berharap modalnya kembali.
Apa yang ingin disampaikan dari paragraf diatas. Tentunya partai politik juga ingin agar modal yang dikeluarkan harus kembali, rentan waktu antara Pilpres Pileg dan Pilkada Serentak tidak beda jauh. Sampai saat ini msih terasa karena pelantikan Presiden dan Wakil Presiden terpilih maupun Anggota DPR/DPD/DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota pada bulan Desember 2024. Sementara Pemilukada berlangsung 27 November 2024. Partai politik khususnya di DPP pasti punya cara untuk mengembalikan yang sudah dikeluarkan kemarin saat Pilpres 2024.
Yang terima dampak dari ini adalah Calon-Calon Kepala Daerah seluruh Indonesia. Bayangkan saja. Untuk Provinsi Calon Gubernur harus menyiapkan uang sekitar ratusan miliar mungkin bahkan tirliun untuk belanja rekomendasi partai politik. Ini sudah menjadi rahasia umum, kalau 1 kursi ditingkat Provinsi harganya 3-4 Miliar dikali 7 Kursi atau 20 persen maka yang disiapkan diatas 30 Miliar belum uang lain-lain.
Ada Calon Gubernur yang ingin mengambil banyak partai. Kalau dia ingin lebih dari 7 kursi maka angkanya juga bertambah. Belum operasional kampanye dan lain-lain. Ini menjadi mudah bagi Calon petahana dan Calon pengusaha karena petahana kita duga bisa bermain pada posisi kelola APBD kalau pengusaha bermain di anggaran usahanya. Hal yang sama juga bisa dirasakan oleh Kepala daerah Bupati/Walikota. Jadi sebenranya Pilkada 2024 ini tuntutan kemanangan tapi mengurasa pendanaan karean dampak dari Pilpres dan Pileg kemarin.