Laporan : Rustam Rettob/Wartawan
Fakfak – Setelah KPU Kabupaten Fakfak menetapkan hasil perolehan suara Pilkada 2024, Jumat, 6 Desember 2024 kemarin. Pasangan UTAYOH tak terima dengan hasil yang ditetapkan KPU dan mengadukan ke MK. dalam gugatanya mereka minta agar MK membatalkan Keputusan KPU Fakfak Nomor 2831 Tahun 2024, UTAYOH menuding SANTUN dan juga KPU bersama-sama melakukan pelanggaran TSM dan Monay Politic (Politik Uang) di Pilkada Fakfak 2024.
Sebagai bahan informasi, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Fakfak dalam Rapat Pleno Terbuka dengan Agenda Rekapitulasi Hasil Perolehan Suara Pemiliki Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Papua Barat serta Bupati dan Wakil Bupati Fakfak selanjutnya penetapan hasil perolehan suara Pilkada Fakfak 2024. Dominggus Mandacan – Mohamad Lakotani memperoleh 39.461 suara sah. Kotak Kosong 4. 474 suara sah
Sedangkan untuk perolehan suara Bupati dan Wakil Bupati Fakfak. Pasangan Untung Tamsil dan Yohana Dina Hindom Nomor Urut 1 memperoleh 20.818 suara sah, sedangkan Pasangan Samaun Dahlan-Donatus Nimbitkendik meraih 24.775 suara sah. Atau selisih kekalahan UTAYOH adalah 3.957 suara sah. Atas dasar keputusan KPU Fakfak dimaksud UTAYOH tidak terima sehingga kini telah mengajukan ke Mahkamah Konstitusi dan salah satu point perimintaan UTAYOH dalam materi setebal kurang lebih 36 halaman itu adalah memohon MK batalkan Keputusan KPU Fakfak Nomor : 2831 Tahun 2024.
Permohonan itu disampaikan dalam PETITUM mereka bahwa berdasarkan seluruh uraian sebagaimana tercatat dalam materi gugatan UTAYOH sebagai Pemohon mereka bermohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk menjatuhkan putusan menyatakan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Fakfak Nomor 2831 tentang Penetapan Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Fakfak 2024, tertanggal 6 Desember 2024 adalah batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat
Pemohon dalam hal ini Paslon UTAYOH berpendapat bahwa permintaan MK untuk membatalkan Keputusan KPU Fakfak dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat dan harus lakukan pemungutan suara ulang pada TPS-TPS yang tersebar di 6 Distrik, 23 Kelurahan, dan 32 TPS. Kemudian juga memohon kepada MK untuk memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Fakfak agar mengangkat Ketua dan Anggota KPPS serta Ketua dan Anggota PPK yang baru (bukan sebelumnya) pada TPS-TPS yang dilakukan pemungutan suara ulang tersebut.
Mereka juga kemudian memohon juga kepada Mhkamah Konstitusi (MK) agar memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum Provinsi Papua Barat untuk melakukan supervisi dan koordinasi dengan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Fakfak beserta jajarannya dalam pelaksanaan pemungutan suara ulang Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Fakfak Tahun 2024.
UTAYOH juga memohon kepada Hakim MK agar memerintahkan kepada Badan Pengawas Pemilihan Umum Provinsi Papua Barat untuk melakukan supervisi dan koordinasi dengan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Fakfak beserta jajarannya dalam pelaksanaan pemungutan suara ulang Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Fakfak Tahun 2024.
Apa sebab pemohon minta MK batalkan Keputusan KPU Fakfak dan nyatakan tidak memiliki kekuatan hukum?, Pasangan Petahana ini uraikan bahwa berdasarkan penghitungan suara tahap akhir yang ditetapkan oleh KPU Kabupaten Fakfak, selisih perolehan suara antara Pemohon dengan pasangan calon peraih suara terbanyak, yaitu Pasangan Calon Nomor Urut 2 (dua) adalah sebesar 3.957 suara. Namun demikian, selisih suara tersebut terjadi dikarenakan terdapat fakta yang tak terbantahkan adanya pelanggaran dan kecurangan yang luar biasa dalam pemilihan Calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Fakfak berupa:
- Pelanggaran berupa tidak dilakukannya verifikasi terhadap pemilih oleh kpps (termohon) yang terjadi di 15 TPS
- KPPS (termohon) tidak menjaga dan mengamankan keutuhan kotak suara sesuai prosedur sehingga kotak suara menjadi diragukan keabsahannya di 12 TPS
- Pelanggaran berupa adanya pemilih yang mencoblos lebih dari satu surat suara yang terjadi di 2 TPS
- Pelanggaran berupa adanya pemilih yang diwakili oleh pemilih lain yang terjadi di 3 TPS.
- Pelanggaran berupa adanya pemilih dengan domisili di luar kabupaten fakfak yang terjadi di 1 TPS
- Pelanggaran berupa adanya pemilih di bawah umur yang terjadi di 1 TPS
- KPPS (termohon) mempersilahkan pemilih melakukan pencoblosan meski telah lewat waktu pemilihan di 1 TPS
- adanya pembatasan hak kepada pemilih untuk menggunakan hak pilihnya yang terjadi di 1 TPS
- Adanya pelanggaran pemilihan secara terstruktur, sistematis, dan masif (tsm) yang dilakukan oleh komisi pemilihan umum kabupaten fakfak (termohon) dan pasangan calon nomor urut 02 (pihak terkait)
UTAYOH melalui kuasanya menguraikan dalam isi materi gugatan itu bahwa akibat adanya pelanggaran dan kecurangan tersebut diatas dalam pemilihan Calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Fakfak yang terjadi di 32 TPS, dengan total suara yang tercemar sebanyak 10.010 sehingga mempengaruhi perolehan suara pemohon secara signifikan dan berpotensi menjadi perolehan suara bagi Pemohon apabila tidak terjadi pelanggaran dan kecurangan.
Permintaan lain adalah bahwa dalam praktik pemeriksaan sengketa hasil Pemilihan Kepala Daerah di Mahkamah Konstitusi, telah terjadi pergeseran pendekatan dalam penerapan ambang batas pengajuan permohonan sengketa hasil Pilkada di Mahkamah Konstitusi. Hal mana awalnya, Mahkamah Konstitusi menerapkan persyaratan ambang batas terhadap seluruh perkara tanpa terkecuali, maka saat ini penerapan ambang batas tersebut menjadi belum dapat serta-merta diberlakukan dan/atau dikesampingkan, ketika Mahkamah Konstitusi menemukan permasalahan khusus yang tidak memungkinkan digunakannya ambang batas untuk memeriksa suatu permohonan sengketa hasil Pilkada.
Pemohon sangat berharap bahwa meskipun Pasal 158 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 mengatur ambang batas selisih suara, namun berdasarkan peraturan perundang-undangan yang ada dan Putusan-Putusan Mahkamah Konstitusi sebagai preseden sangat dimungkinkan adanya pengecualian terhadap keberlakuan syarat ambang batas selisih suara. Bahkan jika mencermati semangat dari Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 3 Tahun 2024 yang tidak mencantumkan lagi secara rigid mengenai syarat persentase atau ambang batas pengajuan Permohonan Sengketa Hasil Pilkada, maka sesungguhnya Mahkamah Konstitusi memiliki kehendak untuk memeriksa secara kasuistis dan mempertimbangkan untuk menunda pemberlakuan ketentuan Pasal 158 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016.
Bahwa dalam perkara a quo, secara normatif selisih hasil suara Pemohon dengan hasil suara Pasangan Calon atas nama Samaun Dahlan dan Donatus Nimbitkendik (“Pasangan Calon Nomor Urut 02”) tidak memenuhi syarat pengajuan Permohonan berdasarkan ketentuan Pasal 158 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. Walaupun demikian, kami berharap Mahkamah Konstitusi berkenan menunda keberlakuan ketentuan Pasal 158 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 dalam Permohonan ini, karena terdapat alasan-alasan fundamental yang penting menurut Pemohon serta berkaitan erat dengan penyelenggaraan pemilihan serta rekapitulasi hasil suara pemilihan.
Bahwa sudah seharusnya Mahkamah Konstitusi tidak hanya terpaku pada angka kuantitatif akan tetapi juga memperhatikan aspek kualitatif sehingga Mahkamah Konstitusi tidak hanya berfokus pada persyaratan jumlah maksimal selisih suara, namun juga harus melihat pelanggaran-pelanggaran yang menyebabkan selisih suara antara pasangan calon melebihi ambang batas dalam rangka menegakan hukum dan keadilan,
Bahkan pemohon minta meminta kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) dalam mengajukan Permohonan a quo, dan meminta Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk menunda keberlakuan ketentuan Pasal 158 ayat (2) huruf c Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 atas dasar alasan-alasan fundamental yang telah Pemohon uraikan di atas.