18.7 C
New York
Kamis, Oktober 9, 2025

Buy now

Menteri Bahlil : Izin PT GAG Terbit Sebelum Saya Jadi Menteri

Jakarta – Setelah secara resmi akan memberhentikan operasi produksi PT GAG Nikel di Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat Daya., Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menegaskan bahwa Kementerian ESDM memiliki kewenangan pengawasan sesuai dengan kaidah pertambangan yang baik (good mining practice).

PT GAG Nikel, pemegang Kontrak Karya Generasi VII No. B53/Pres/I/1998, resmi berdiri pada 19 Januari 1998 setelah ditandatangani oleh Presiden Republik Indonesia. Awalnya, struktur kepemilikan saham perusahaan ini terdiri dari Asia Pacific Nickel Pty. Ltd. (APN Pty. Ltd) sebesar 75% dan PT ANTAM Tbk. sebesar 25%.

Namun sejak tahun 2008, PT ANTAM Tbk. berhasil mengakuisisi seluruh saham APN Pty. Ltd., sehingga kendali penuh PT GAG Nikel berada di tangan PT ANTAM Tbk.

Bahlil menjelaskan pentingnya verifikasi langsung ke lapangan untuk memahami kondisi sebenarnya terkait maraknya pemberitaan yang beredak di publik.

“Saat izin usaha pertambangan dikeluarkan, saya masih Ketua Umum HIPMI Indonesia, Ketua Umum BPP HIPMI dan belum masuk di Kabinet.

Karena itu untuk memahami kondisi sebenarnya kita harus cross check ke lapangan guna mengetahui kondisi sebenarnya secara obyektif,” jelasnya saat jumpa pers di Kementerian ESDM, Jakarta, Kamis (5/6) kemarin.

Lebih lanjut, Menteri ESDM tersebut membantah kabar bahwa aktivitas pertambangan PT GAG Nikel berlangsung di Pulau Piaynemo yang menjadi salah satu ikon pariwisata Raja Ampat.

Menurut Bahlil, penambangan dilakukan di Pulau GAG, yang jaraknya kurang lebih 30-40 km dari Pulau Piaynemo.

“Aktivitas pertambangan dilakukan di Pulau GAG bukan Piaynemo seperti yang perlihatkan di beberapa media yang saya baca.

Saya sering di Raja Ampat Pulau Piaynemo dengan Pulau GAG, itu kurang lebih sekitar 30 km sampai dengan 40 km.

Di wilayah Raja Ampat itu betul wilayah perwisata yang kita harus lindungi,” jelas Menteri ESDM RI. Bahlil Lahadalia.

Hentikan Sementara Aktivitas Pertambangan Nikel di Raja Ampat

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menghentikan sementara aktivitas pertambangan nikel PT Gag Nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya.

Pembekuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) perusahaan tersebut berlaku sejak Kamis, 5 Juni 2025.

Langkah ini diambil usai penolakan kegiatan pertambangan nikel di Raja Ampat oleh aktivis lingkungan dan aliansi masyarakat sipil karena mengancam ekosistem.

“Untuk sementara, kami hentikan operasinya sampai dengan verifikasi lapangan. Kami akan cek,” kata Bahlil di Kementerian ESDM, Kamis, 6 Juni 2025.

PT Gag Nikel merupakan anak perusahaan PT Antam Tbk, salah satu badan usaha milik negara (BUMN).

Bahlil mengatakan, IUP produksi perusahaan tersebut untuk menambang nikel di Raja Ampat terbit pada 2017 dan mulai beroperasi setahun setelahnya.

“Sebelum beroperasi kan ada Amdal (analisis mengenai dampak lingkungan). Amdal ini sudah ada,” kata Ketua Umum Partai Golkar itu.

Sebelumnya, penolakan terhadap aktivitas pertambangan nikel di Raja Ampat disuarakan Greenpeace Indonesia dalam acara Indonesia Critical Minerals Conference & Expo di Hotel Pullman, Selasa, 3 Juni 2025.

Kepala Kampanye Hutan Greenpeace Global untuk Indonesia Kiki Taufik mengatakan wilayah Raja Ampat akan rusak bila aktivitas tambang terus dibiarkan.

Ia berujar, dampak merusak akibat industri nikel sudah terjadi di sejumlah daerah seperti Halmahera, Wawonii, dan Kabaena. Kini, aktivitas serupa mulai menjalar ke Raja Ampat.

“Saat ini sudah ada lima pulau yang mulai dieksploitasi. Padahal wilayah ini adalah kawasan geopark global dan destinasi wisata bawah laut terpopuler. Sekitar 75 persen terumbu karang terbaik dunia berada di Raja Ampat, dan sekarang mulai dirusak,” ujarnya.

Penelusuran Greenpeace tahun lalu menemukan adanya aktivitas tambang di Pulau Gag, Pulau Kawe, dan Pulau Manuran.

Ketiganya termasuk kategori pulau kecil yang semestinya tidak boleh ditambang berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Analisis Greenpeace menunjukkan aktivitas tambang di ketiga pulau tersebut telah menyebabkan kerusakan lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi alami.

Dokumentasi di lapangan juga memperlihatkan adanya limpasan tanah yang mengalir ke pesisir sehingga menimbulkan sedimentasi yang membahayakan terumbu karang serta ekosistem laut.

Sementara itu :

Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) mulai menindaklanjuti laporan tentang keberadaan tambang nikel di kawasan sensitif Raja Ampat, Papua Barat Daya, yang diduga membabat hutan dan mengancam ekosistem laut.

“Saya hanya bisa menanggapi sedikit, karena Deputi Gakkum juga sudah menindaklanjuti itu. Kami sedang melakukan pengembangan-pengembangan untuk langkah penegakan hukum,” ujar Sekretaris Utama KLH/BPLH Rosa Vivien Ratnawati, Rabu (5/6).

Pernyataan Vivien merujuk pada langkah awal yang dilakukan Deputi Penegakan Hukum KLH dalam menyelidiki dugaan aktivitas tambang nikel yang berada dekat kawasan konservasi Raja Ampat.

Namun hingga kini belum ada penjelasan resmi soal dokumen lingkungan dari perusahaan tambang tersebut.

“Terkait dokumen lingkungan yang harus dimiliki oleh pertambangan nikel ketika ingin beroperasi, saya harus melakukan pemeriksaan lebih lanjut,”kata Vivien.

Raja Ampat, yang dikenal sebagai salah satu surga biodiversitas laut dunia, terancam oleh ekspansi industri tambang nikel.

Data dari Greenpeace menunjukkan pembabatan lebih dari 500 hektare hutan di tiga pulau kecil, yaitu Gag, Kawe, dan Manuran, yang semuanya seharusnya dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Laporan Greenpeace juga mendokumentasikan sedimentasi di pesisir akibat limpasan tanah dari aktivitas tambang, yang berpotensi merusak terumbu karang dan kehidupan laut Raja Ampat.

Selain tiga pulau tersebut, tambang juga mengancam Pulau Batang Pele dan Manyaifun, yang berjarak hanya sekitar 30 kilometer dari kawasan Piaynemo yang ikonik.

“Raja Ampat sedang dalam bahaya karena kehadiran tambang nikel di beberapa pulau, termasuk di kampung saya di Manyaifun dan Pulau Batang Pele,” ujar Ronisel Mambrasar, anggota Aliansi Jaga Alam Raja Ampat dikutip dari laman Greenpeace.

“Tambang nikel mengancam kehidupan kami. Bukan cuma akan merusak laut yang selama ini menghidupi kami, tambang nikel juga mengubah kehidupan masyarakat yang sebelumnya harmonis menjadi berkonflik.”

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menyatakan pada Selasa (3/6/2025), pihaknya akan memanggil pemegang izin tambang nikel untuk evaluasi. Namun, di tingkat lokal, pemerintah daerah merasa tak berdaya.

“Kewenangan pemberian dan pemberhentian izin tambang nikel berada pada pemerintah pusat di Jakarta,” kata Bupati Raja Ampat Orideko Burdam, Sabtu (31/5/2025).

Hal itu, lanjutnya, menyebabkan pemda kesulitan melakukan intervensi terhadap aktivitas tambang yang diduga mencemari hutan dan lingkungan.

Greenpeace Indonesia menilai situasi ini sebagai bukti kegagalan arah kebijakan hilirisasi nikel yang digadang-gadang pemerintah. 

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan
- Advertisement -spot_img

Latest Articles

error: Content is protected !!