INDONESIA ibarat bahtera besar yang dinakhodai para pemimpin andal pada tiga era berbeda. Tiap zaman menetapkan kompas penunjuk arah kebijakan dan prioritas pembangunan menuju dermaga masa depan, termasuk meninggalkan jejak keberhasilan dalam struktur ekonomi, politik, dan sosial hingga saat ini.
Orde Lama mencari bentuk terbaik republik yang baru lahir, fokus kepada upaya mempertahankan kemerdekaan, menegakkan identitas negara, mengupayakan nasionalisasi aset, dan menyeleksi sektor strategis yang harus dikuasi oleh negara.
Selanjutnya, Orde Baru bertumpu kepada penerapan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen melalui trilogi pembangunan, yang berfokus kepada penciptaan stabilitas nasional yang dinamis, pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dan pemerataan hasil pembangunan.
Stabilitas politik diletakkan sebagai prasyarat utama pembangunan (ekonomi). Aktivitas ekonomi dirancang dalam jangka panjang melalui perencanaan terpusat, investasi luar negeri mulai dibuka, diiringi dengan ikhtiar modernisasi pertanian, industrialisasi, dan ekspansi infrastruktur.
Era tersebut meninggalkan jejak kemajuan yang mengagumkan, antara lain ditandai dengan pertumbuhan ekonomi tinggi, swasembada beras, kemandirian energi, penurunan kemiskinan yang luar biasa, pengembangan infrastruktur dasar, ekspansi pendidikan melalui program wajib belajar enam tahun (SD inpres), stabilisasi ekonomi makro, dan perluasan kelas menengah.
Orde Reformasi lahir dari semangat kolektif anak bangsa untuk menyempurnakan capaian pembangunan pada dua era sebelumnya. Demokratisasi politik, desentralisasi dan otonomi daerah, reformasi ekonomi, pembangunan inklusif menjadi fokus utama.
Buah reformasi telah dinikmati hingga saat ini meskipun tantangan demi tantangan terus datang silih berganti. Ketiga orde itu saling berkait, tersambung, dan menutup celah kekurangan dari periode-periode sebelumnya.
GELAR PAHLAWAN SOEHARTO
Bahtera besar itu kini telah berusia 80 tahun dengan sirkulasi kepemimpinan yang silih berganti. Presiden Sukarno memimpin Indonesia lebih dari dua dekade, Presiden Soeharto melanjutkan kepemimpinan selama 32 tahun, yang kemudian dituntaskan Presiden BJ Habibie.
Hasil pemilihan umum pertama pascareformasi menetapkan Abdurrahman Wahid sebagai presiden keempat yang dilanjutkan oleh Presiden Megawati. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terpilih melalui mekanisme pemilihan umum langsung pertama selama dua periode, dilanjutkan Presiden Joko Widodo, dan sekarang Presiden Prabowo Subianto.
Perjuangan dan pengabdian para pemimpin bangsa patut dikenang, diteladani, dan diapresiasi. Mantan Presiden Sukarno telah ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 2012 di era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Kemarin, bertepatan dengan peringatan Hari Pahlawan 10 November 2025, Presiden Prabowo Subianto menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada mantan Presiden Soeharto dan mantan Presiden Abdurrahman Wahid melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 116/TK/Tahun 2025.
Peristiwa bersejarah tersebut mengingatkan kita pada pesan monumental mantan Presiden Sukarno: bangsa yang besar ialah bangsa yang menghormati jasa para pahlawannya.
Mantan Presiden Soeharto menerima anugerah pahlawan nasional pada bidang perjuangan bersenjata dan politik. Ingatan publik terhadap sosok Presiden Kedua Republik Indonesia tersebut tidak bisa lepas dari atribut sebagai Bapak Pembangunan.
Kepemimpinannya selama 32 tahun di era Orde Baru berhasil membawa Indonesia mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pemerataan hasil pembangunan, peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui program pendidikan, ekspansi pembangunan infrastruktur dasar, serta swasembada pangan dan energi.
Kunci keberhasilan pembangunan di era Orde Baru tidak lepas dari terciptanya stabilitas nasional. Melanjutkan rintisan mantan Presiden Sukarno dalam membentuk Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) pada 1964.
Mantan Presiden Soeharto mengoptimalkan peran Golkar sebagai instrumen konsolidasi lintas pelaku dan lintas golongan untuk mendukung tujuan pembangunan nasional jangka panjang secara terpadu, terencana, dan terkendali.
Golkar berkembang menjadi partai politik modern yang berorientasi pada kinerja dan pembangunan. Pemilihan Umum (Pemilu) 1971, Golkar meraih lebih dari 62% suara nasional, menandai keberhasilan mantan Presiden Soeharto membangun sistem politik yang stabil dan efisien.
Golkar menjadi wadah integrasi sosial, menghubungkan birokrasi, militer, dan masyarakat sipil dalam satu orientasi yang sama, yakni pembangunan bangsa. Keberhasilan mantan Presiden Soeharto membesarkan Golkar adalah cermin dari kemampuannya mengelola politik secara fungsional, menjadikan politik sebagai sarana kerja kolektif, bukan semata-mata medan pertikaian ideologi.
JEJAK KINERJA ORDE BARU
Mantan Presiden Soeharto memahami legitimasi politik akan meningkat bila diikuti kesejahteraan ekonomi rakyat. Oleh karena itu, sejak awal pemerintahannya ia selalu menempatkan pembangunan ekonomi sebagai alas utama konsolidasi bangsa.
Melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun atau Repelita, pemerintah menyusun arah pembangunan nasional secara terukur dan berjangka panjang. Tradisi perencanaan ekonomi ini menjadi model kebijakan pembangunan yang masih digunakan hingga saat ini.
Fase awal Orde Baru, pemerintah berhasil memulihkan stabilitas makroekonomi. Inflasi yang semula sangat tinggi bisa ditekan, anggaran negara dikelola dengan rapi dan disiplin, serta kerja sama dengan lembaga internasional dibuka kembali. Langkah itu mengembalikan kredibilitas ekonomi Indonesia di mata dunia. Dari tahap pemulihan itu, mantan Presiden Soeharto melangkah ke fase industrialisasi.
Repelita II dan III menjadi tonggak penting tumbuhnya sektor industri nasional. Pemerintah mendirikan industri baja melalui PT Krakatau Steel, industri pupuk lewat PT Pupuk Sriwijaya dan PT Petrokimia Gresik, serta mengembangkan industri strategis seperti pesawat, kapal, dan senjata di bawah Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). Melalui kebijakan penguatan industri dalam negeri, Indonesia mulai dikenal sebagai negara industri baru di Asia Tenggara.
Mantan Presiden Soeharto juga menaruh perhatian besar kepada sektor pendidikan. Ribuan sekolah dasar dibangun melalui program inpres sekolah dasar, yang menjangkau hampir seluruh wilayah perdesaan.
Kebijakan wajib belajar dan pembangunan perguruan tinggi negeri baru telah memperluas akses pendidikan bagi masyarakat. Hasilnya, tingkat melek huruf meningkat tajam dan kualitas sumber daya insani mulai tumbuh sebagai penopang pembangunan.
Keberhasilannya yang paling nyata terlihat pada swasembada beras pada 1984, yang menjadikan Indonesia tidak lagi bergantung impor pangan. Kesuksesan itu bukan kebetulan, melainkan hasil desain kebijakan yang konsisten. Pemerintah memperkenalkan program bimas (bimbingan massal) dan inmas (intensifikasi massal), menyalurkan pupuk bersubsidi, memperluas jaringan irigasi melalui Instruksi Presiden tentang Irigasi, dan menugasi Badan Urusan Logistik (Bulog) untuk menjaga stabilitas harga beras serta membeli hasil panen petani.
Mantan Presiden Soeharto menempatkan petani sebagai subjek pembangunan, bukan sekadar penerima kebijakan. Penyuluh pertanian dikirim ke desa-desa untuk mentransfer teknologi, sementara infrastruktur pertanian dibangun secara besar-besaran.
Dalam satu dekade, produktivitas padi meningkat hampir dua kali lipat. Indonesia yang semula dikenal sebagai pengimpor beras terbesar di Asia berubah menjadi negara yang mampu memenuhi kebutuhan sendiri.
Produksi beras nasional meningkat dari sekitar 12 juta ton pada akhir 1960-an menjadi hampir 30 juta ton pada 1984. Swasembada beras tidak hanya menunjukkan keberhasilan ekonomi, tetapi juga memperkuat ketahanan sosial dan kedaulatan nasional. Mantan Presiden Soeharto membuktikan bahwa pembangunan yang berpihak kepada petani mampu menjadi tulang punggung kestabilan negara.
Ia juga mencatat keberhasilan besar di sektor energi. Sejak awal 1970-an, mantan Presiden Soeharto memperkuat sektor minyak dan gas bumi sebagai tulang punggung ekonomi nasional. Dia memperkenalkan sistem kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC), sebuah model kemitraan antara negara dan investor yang tetap menempatkan kontrol di tangan pemerintah. Model itu kemudian menjadi standar global dan masih digunakan hingga saat ini.
Produksi minyak meningkat tajam dari 0,9 juta barel per hari pada 1970 menjadi 1,6 juta barel per hari pada 1977. Indonesia aktif dalam Organisasi Negara Pengekspor Minyak atau OPEC dan menjadi eksportir bersih minyak mentah selama lebih dari dua dekade. Ketika harga minyak dunia naik drastis pada 1973 dan 1979, mantan Presiden Soeharto memanfaatkan momentum tersebut untuk mempercepat pembangunan nasional.
Pendapatan dari sektor minyak dan gas menyumbang lebih dari 60% anggaran negara pada pertengahan 1970-an digunakan untuk membangun jalan raya, pelabuhan, sekolah, rumah sakit, serta memperluas jaringan listrik melalui program listrik masuk desa. Subsidi energi diterapkan sebagai strategi pemerataan agar akses energi menjadi terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat.
Selama tiga dekade kepemimpinannya, Indonesia tumbuh sebagai negara yang stabil dan disegani. Pendapatan per kapita meningkat dari sekitar US$70 pada akhir 1960-an menjadi lebih dari US$1.000 menjelang akhir masa pemerintahannya.
Angka kemiskinan turun tajam dari 60% (1970) menjadi 11,3% (1996), akses pendidikan meluas, dan infrastruktur dasar menjangkau seluruh pelosok negeri. Banyak kebijakan yang diperkenalkan pada masa mantan Presiden Soeharto, seperti Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita), subsidi energi, dan program pangan nasional, masih menjadi pijakan kebijakan publik hingga kini.
MENEGAKKAN INDONESIA
Pemberian gelar pahlawan nasional kepada mantan Presiden Soeharto bukan sekadar penghormatan simbolis, melainkan pengakuan terhadap jasa besar seorang pemimpin yang membawa Indonesia melewati masa-masa sulit menuju era stabilitas dan pertumbuhan. Ia merupakan arsitek pembangunan yang menegakkan kemandirian ekonomi, stabilisasi politik, serta kesejahteraan masyarakat.
Mantan Presiden Soeharto memimpin pada masa paling sulit ketika kondisi ekonomi Indonesia berada di ambang kehancuran. Pada 1966, inflasi mencapai 650%, cadangan devisa hanya sekitar US$100 juta, utang luar negeri menumpuk, dan sektor pangan terpuruk. Pabrik-pabrik berhenti beroperasi, perdagangan lumpuh, dan rakyat hidup dalam ketidakpastian. Dalam situasi seperti itu, kepemimpinan Soeharto tampil dengan pendekatan yang rasional dan pragmatis. Ia tidak menempuh jalan retorika ideologis, tetapi mengayunkan langkah konkret untuk menstabilkan moneter, membenahi fiskal, dan mengembalikan kepercayaan dunia internasional terhadap ekonomi Indonesia.
Mantan Presiden Soeharto memanggil para teknokrat terbaik bangsa, membangun sistem ekonomi yang berpijak pada disiplin dan efisiensi, serta menata ulang tata kelola pemerintahan agar berjalan rasional.
Dari titik inilah fondasi pembangunan nasional diletakkan secara sistematis dan berkelanjutan. Modal itu pula yang membuat semangat pembangunan dihidupkan melalui kebijakan yang menempatkan kemandirian bangsa, dan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan utama bagi kedaulatan bangsa.
Warisan kebijakan mantan Presiden Soeharto kini menjadi inspirasi bagi arah kebijakan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Orientasi pada swasembada pangan dan energi hingga hilirisasi adalah kelanjutan dari gagasan besar yang dulu landasannya diletakkan mantan Presiden Soeharto.
Sejarah telah menunjukkan bahwa pada masanya Indonesia bisa bangkit menjadi negara yang stabil dan mandiri.
Penting disadari pula tidak ada seorang pun pemimpin yang paripurna, perjalanannya selalu dilekati dengan aneka kelemahan, di samping kelebihan yang diberikan. Kekurangan itulah yang menjadi ruang bagi para pemimpin setelahnya untuk mengerjakan perbaikan. Inilah yang membuat Indonesia tetap tegak dan paten hingga sekarang, sekaligus menjadi jejak sejarah kemajuan bangsa.
(Media Indonesia/Opini)


