Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Koalisi Kodifikasi Undang-undang Pemilu, bekerja sama dengan Media Indonesia untuk mengawal dan mempublikasikan hasil kajian terkait revisi Undang-Undang (UU) Pemilu.
Kolaborasi ini sebagai bagian dari upaya mendorong reformasi politik dan memastikan proses legislasi berjalan transparan serta partisipatif.
Peneliti Perludem Iqbal Kholidin menjelaskan, keterlibatan media menjadi kunci penting dalam memperkuat arah perubahan kebijakan, termasuk dalam pembahasan revisi UU Pemilu yang saat ini tengah menjadi sorotan.
“Kami memandang salah satu instrumen penting untuk mendorong perubahan di negara ini adalah media. Melalui media, pemerintah dan publik bisa tahu apa yang sebenarnya terjadi,” ujar Iqbal di Kantor Media Indonesia, Selasa (11/11).
Iqbal menuturkan, kolaborasi dengan media diharapkan dapat memperluas ruang diskusi publik mengenai reformasi politik, terutama menyangkut revisi UU Pemilu yang semestinya sudah dibahas sejak awal 2025.
“Revisi undang-undang ini sebetulnya agak terlambat. Harusnya sudah masuk Prolegnas 2025, tapi akhirnya baru akan dimasukkan ke 2026. Padahal di pertengahan tahun itu, tahapan rekomendasi negara sudah dimulai,” jelasnya.
Peneliti Perludem Usep Hasan Sadikin (ketiga kanan) didampingi dua peneliti Pusako Unand Elsi Fatiya Rahmadila (kedua kanan) dan Antoni Putra (kanan) memberikan penjelasan kepada Kepala Divisi Pemberitaan Media Indonesia Ahmad Punto (ketiga kiri), Redaktur(MI/Susanto)
Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Koalisi Kodifikasi Undang-undang Pemilu, bekerja sama dengan Media Indonesia untuk mengawal dan mempublikasikan hasil kajian terkait revisi Undang-Undang (UU) Pemilu.
Kolaborasi ini sebagai bagian dari upaya mendorong reformasi politik dan memastikan proses legislasi berjalan transparan serta partisipatif.
Peneliti Perludem Iqbal Kholidin menjelaskan, keterlibatan media menjadi kunci penting dalam memperkuat arah perubahan kebijakan, termasuk dalam pembahasan revisi UU Pemilu yang saat ini tengah menjadi sorotan.
“Kami memandang salah satu instrumen penting untuk mendorong perubahan di negara ini adalah media. Melalui media, pemerintah dan publik bisa tahu apa yang sebenarnya terjadi,” ujar Iqbal di Kantor Media Indonesia, Selasa (11/11).
Iqbal menuturkan, kolaborasi dengan media diharapkan dapat memperluas ruang diskusi publik mengenai reformasi politik, terutama menyangkut revisi UU Pemilu yang semestinya sudah dibahas sejak awal 2025.
“Revisi undang-undang ini sebetulnya agak terlambat. Harusnya sudah masuk Prolegnas 2025, tapi akhirnya baru akan dimasukkan ke 2026. Padahal di pertengahan tahun itu, tahapan rekomendasi negara sudah dimulai,” jelasnya.
Ia mengingatkan bahwa keterlambatan pembahasan RUU Pemilu berpotensi menimbulkan persoalan teknis dan hukum pada pelaksanaan Pemilu berikutnya.
“Nanti bisa jadi muncul problem, apakah tahapan negara menggunakan undang-undang lama yang sudah tidak relevan, atau malah ngebut dengan aturan baru yang disusun tergesa-gesa,” tukasnya.
Lebih lanjut, Iqbal menuturkan bahwa advokasi revisi UU Pemilu telah dilakukan Perludem bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil sejak lama.
“Kerja-kerja koalisi untuk kodifikasi pemilu ini sudah dimulai sejak 2015 dengan 30 organisasi, dan kini dilanjutkan bersama 12 organisasi lainnya. Harapannya, media bisa menjadi mitra strategis dalam advokasi ini,” katanya.
Peneliti Perludem lainnya, Usep Hasan Sadikin, menambahkan bahwa audiensi Media Indonesia, menjadi bagian dari strategi advokasi untuk memastikan nilai-nilai demokrasi dan keberpihakan terhadap kelompok marjinal tetap terangkat dalam pemberitaan.
“Kami ingin tahu bagaimana masing-masing media melihat nilai berita dari proses advokasi revisi UU Pemilu ini. Karena sering kali, konferensi pers tidak tersampaikan dengan tepat kalau momentumnya tidak pas atau nilai beritanya tidak sesuai,” ujar Usep.
Ia menilai, pendekatan langsung kepada redaksi media penting agar isu-isu seperti keterwakilan perempuan, masyarakat adat, dan penyandang disabilitas bisa memperoleh perhatian yang layak dalam proses revisi UU Pemilu.
“Media Indonesia, misalnya, selama ini punya fokus pada isu-isu warga marjinal. Nah, di revisi UU Pemilu ini juga kami libatkan organisasi masyarakat sipil yang konsen di isu-isu identitas tersebut,” jelas Usep.
Melalui kerja sama ini, Perludem berharap media massa dapat berperan lebih aktif dalam mengawal proses revisi UU Pemilu agar berjalan transparan, akuntabel, dan berpihak pada demokrasi yang inklusif.
“Semoga kerjasama ini bisa memperkuat advokasi dan menghubungkan nilai-nilai demokrasi dengan nilai berita yang ingin dikuatkan media,” ucapnya.
Pada kesempatan yang sama, Kepala Divisi Pemberitaan Media Indonesia, Ahmad Punto, menekankan pentingnya menerjemahkan istilah-istilah dalam RUU Pemilu ke dalam bahasa yang mudah dipahami masyarakat luas.
“Pembahasan revisi UU Pemilu seringkali penuh istilah teknis. Tantangannya adalah bagaimana membahasakan itu semua agar publik bisa paham, karena partisipasi bermakna hanya bisa terjadi kalau masyarakat mengerti substansinya,” kata Punto.
Sementara itu, Redaktur Media Indonesia, Akhmad Mustain, menilai bahwa percepatan pembahasan dan pengesahan revisi Undang-Undang (UU) Pemilu menjadi hal mendesak agar penyelenggaraan Pemilu mendatang berjalan lebih baik dan tidak diwarnai keterlambatan seperti periode-periode sebelumnya.
“Sebenarnya kita (media) sudah lama mendorong agar perubahan undang-undang pemilu ini segera dieksekusi. Karena dari pemilu ke pemilu, pola yang terjadi selalu sama kebut semalam,” ujar Mustain.
Menurut Mustain, peran masyarakat sipil dalam mengawasi pembahasan revisi UU Pemilu menjadi krusial untuk mencegah proses legislasi yang hanya mengakomodasi kepentingan elite politik.
“Kalau tidak ada monitoring dari masyarakat sipil, ya mereka akan lolos-lolos saja. Semua tergantung kepentingan politik, misalnya soal parliamentary threshold,” tegasnya.
Ia berharap kerjasama ini dapat memperkuat suara publik dan memperluas jangkauan isu-isu yang diangkat masyarakat sipil terkait isu kepemiluan agar mendapat perhatian pembuat kebijakan.
“Itu juga yang kami soroti di media. Ke depan, penting menemukan irisan concern yang sama antara media dan koalisi masyarakat sipil supaya bisa diperjuangkan bersama. Kami lewat jalur pemberitaan, mereka lewat jalur advokasi,” tuturnya.
Lebih jauh, Mustain menegaskan kerja sama antara media dan masyarakat sipil perlu terus diperkuat untuk memastikan revisi UU Pemilu benar-benar berpihak pada kepentingan publik dan memperkuat demokrasi Indonesia.
“Kita punya peran masing-masing, tapi tujuannya sama agar revisi UU Pemilu tidak lagi jadi proses elitis, melainkan proses publik yang terbuka dan berpihak pada demokrasi,” pungkasnya.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan mulai 2029, keserentakan penyelenggaraan pemilihan umum yang konstitusional adalah dengan memisahkan penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD, dan presiden/wakil presiden (Pemilu nasional) dengan penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota serta gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota (Pemilu daerah atau lokal). Sehingga, Pemilu serentak yang selama ini dikenal sebagai “Pemilu 5 (lima) kotak” tidak lagi berlaku. Penentuan keserentakan tersebut untuk mewujudkan pemilihan umum yang berkualitas serta memperhitungkan kemudahan dan kesederhanaan bagi pemilih dalam melaksanakan hak memilih sebagai wujud pelaksanaan kedaulatan rakyat.
Demikian tertuang dalam Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Putusan ini diucapkan dalam Sidang Pengucapan Putusan yang digelar pada Kamis (26/6/2025) di Ruang Sidang Pleno MK.
Selain itu, Mahkamah juga mempertimbangkan bahwa hingga saat ini pembentuk undang-undang belum melakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) sejak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang diucapkan tanggal 26 Februari 2020. Kemudian, secara faktual pula, pembentuk undang-undang sedang mempersiapkan upaya untuk melakukan reformasi terhadap semua undang-undang yang terkait dengan pemilihan umum.
“Dengan pendirian tersebut, penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa semua model penyelenggaraan pemilihan umum, termasuk pemilihan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota yang telah dilaksanakan selama ini tetap konstitusional,” tegas Wakil Ketua MK Saldi Isra.
“Menenggelamkan” Masalah Pembangunan Daerah
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah menyatakan waktu penyelenggaraan pemilihan umum presiden/wakil presiden serta anggota legislatif yang berdekatan dengan waktu penyelenggaraan pemilihan kepala daerah menyebabkan minimnya waktu bagi rakyat/pemilih menilai kinerja pemerintahan hasil pemilihan umum presiden/wakil presiden dan anggota legislatif. Selain itu, dengan rentang waktu yang berdekatan dan ditambah dengan penggabungan pemilihan umum anggota DPRD dalam keserentakan pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD, dan presiden/wakil presiden masalah pembangunan daerah cenderung tenggelam di tengah isu nasional.
Padahal, menurut Mahkamah, masalah pembangunan di setiap provinsi dan kabupaten/kota harus tetap menjadi fokus dan tidak boleh dibiarkan tenggelam di tengah isu/masalah pembangunan di tingkat nasional yang ditawarkan oleh para kandidat yang tengah bersaing untuk mendapatkan posisi politik di tingkat pusat dalam pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD, dan presiden/wakil presiden.
Pelemahan Pelembagaan Parpol
Tak hanya itu, Mahkamah juga mempertimbangkan bahwa tahapan penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan anggota DPRD yang berada dalam rentang waktu kurang dari 1 (satu) tahun dengan pemilihan kepala daerah, juga berimplikasi pada partai politik—terutama berkaitan dengan kemampuan untuk mempersiapkan kader partai politik dalam kontestasi pemilihan umum. Akibatnya, lanjut Hakim Konstitusi Arief Hidayat, partai politik mudah terjebak dalam pragmatisme dibanding keinginan menjaga idealisme dan ideologi partai politik.
Selain itu, dengan jadwal yang berdekatan, partai politik tidak memiliki waktu yang cukup untuk melakukan perekrutan calon anggota legislatif pada pemilu legislatif tiga level sekaligus dan bagi partai politik tertentu harus pula mempersiapkan kadernya untuk berkontestasi dalam pemilihan umum presiden/wakil presiden. Dengan demikian, agenda yang berdekatan tersebut juga menyebabkan pelemahan pelembagaan partai politik yang pada titik tertentu partai politik menjadi tidak berdaya berhadapan dengan realitas politik dan kepentingan politik praktis.
“Akibatnya, perekrutan untuk pencalonan jabatan-jabatan politik dalam pemilihan umum membuka lebar peluang yang didasarkan pada sifat transaksional, sehingga pemilihan umum jauh dari proses yang ideal dan demokratis. Sejumlah bentangan empirik tersebut di atas menunjukkan partai politik terpaksa merekrut calon berbasis popularitas hanya demi kepentingan elektoral,” terang Arief.
Kualitas Penyelenggaraan Pemilu
Kemudian, Arief menyampaikan terjadinya impitan sejumlah tahapan dalam penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan anggota DPRD dengan sejumlah tahapan awal dalam penyelengaraan pemilihan kepala daerah sebagaimana Pemilu Tahun 2024, menyebabkan terjadinya tumpukan beban kerja penyelenggara pemilu yang berpengaruh terhadap kualitas penyelenggaraan pemilihan umum.
Selain ancaman terhadap kualitas penyelenggaraan pemilihan umum, tumpukan beban kerja penyelenggara yang terpusat pada rentang waktu tertentu karena impitan waktu penyelenggaraan pemilihan umum dalam tahun yang sama menyebabkan adanya kekosongan waktu yang relatif panjang bagi penyelenggara pemilu.
“Masa jabatan penyelenggara pemilihan umum menjadi tidak efisien dan tidak efektif karena hanya melaksanakan ‘tugas inti’ penyelenggaraan pemilihan umum hanya sekitar 2 (dua) tahun,” jelas Arief.
Pemilih Jenuh dan Tidak Fokus
Dari sisi pemilih, Mahkamah mempertimbangkan bahwa waktu penyelenggaraan pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan anggota DPRD yang berdekatan dengan waktu penyelenggaraan pemilihan kepala daerah, juga berpotensi membuat pemilih jenuh dengan agenda pemilihan umum. Bahkan, lanjut Wakil Ketua MK Saldi Isra, jika ditelusuri pada masalah yang lebih teknis dan detail, kejenuhan tersebut dipicu oleh pengalaman pemilih yang harus mencoblos dan menentukan pilihan di antara banyak calon dalam pemilihan umum anggota DPR, anggota DPD, presiden/wakil presiden, dan anggota DPRD yang menggunakan model 5 (lima) kotak.
“Fokus pemilih terpecah pada pilihan calon yang terlampau banyak dan pada saat yang bersamaan waktu yang tersedia untuk mencoblos menjadi sangat terbatas. Kondisi ini, disadari atau tidak, bermuara pada menurunnya kualitas pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam pemilihan umum,” ujar Saldi.
Waktu Penyelenggaraan Pemilu
Perihal jarak waktu antara penyelenggaraan Pemilu nasional dengan waktu penyelenggaraan Pemilu daerah atau lokal, tidak mungkin ditentukan oleh Mahkamah secara spesifik. Namun demikian, Mahkamah berpendapat jarak waktu tersebut tidak dapat dilepaskan dari penentuan waktu yang selalu berkelindan dengan hal-hal teknis semua tahapan penyelenggaraan Pemilu.
Menurut Mahkamah, pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota DPR, anggota DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat 2 (dua) tahun atau paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan sejak pelantikan anggota DPR dan anggota DPD atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota DPRD dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota.
Pengaturan Masa Transisi
Sementara itu, perihal pengaturan masa transisi/peralihan masa jabatan kepala daerah/wakil kepala daerah hasil pemilihan pada tanggal 27 November 2024, serta masa jabatan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota hasil pemilihan pada tanggal 14 Februari 2024, Mahkamah mempertimbangkan bahwa penentuan dan perumusan masa transisi ini merupakan kewenangan pembentuk undang-undang.
Selanjutnya, penentuan dan perumusan dimaksud diatur oleh pembentuk undang-undang dengan melakukan rekayasa konstitusional (constitutional engineering) berkenaan dengan masa jabatan anggota DPRD provinsi/kabupaten/kota, termasuk masa jabatan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota sesuai dengan prinsip perumusan norma peralihan atau transisional.
Kabul untuk Sebagian
Untuk itu, dalam Amar Putusannya, Mahkamah menyatakan Pasal 167 ayat (3) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ke depan tidak dimaknai, “Pemungutan suara dilaksanakan secara serentak untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden/Wakil Presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat 2 (dua) tahun atau paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan sejak pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden dilaksanakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota, dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota pada hari libur atau hari yang diliburkan secara nasional”.
Selain itu, Mahkamah juga menyatakan Pasal 347 ayat (1) UU Pemilu bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ke depan tidak dimaknai, “Pemungutan suara diselenggarakan secara serentak untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden/Wakil Presiden, dan setelahnya dalam waktu paling singkat 2 (dua) tahun atau paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan sejak pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden diselelenggarakan pemungutan suara secara serentak untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota, dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota”.
“Menyatakan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 57, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5678) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ke depan tidak dimaknai, ‘Pemilihan dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota dan gubernur/wakil gubernur, bupati/wakil bupati, dan walikota/wakil walikota yang dilaksanakan dalam waktu paling singkat 2 (dua) tahun atau paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan sejak pelantikan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah atau sejak pelantikan Presiden/Wakil Presiden’,” tandas Ketua MK Suhartoyo mengucapkan Amar Putusan.
(Dev/P-1/ret)


