Jakarta – Konsolidasi lintas Partai di Pusat untuk mematangkan usulan pemilihan kepala daerah. Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota bakal dipilih melalui DPRD diberbagai tingkat baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Hal itu terlihat setelah 4 kekuatan Partai Politik termasuk Partai Penguasa setuju jika Pilkada mendatang dipilih Via DPRD.
Pertemuan yang digelar di kediaman Bahlil Lahadalia tersebut berlangsung dalam suasana santai dan penuh keakraban. Dalam pertemuan itu, para pimpinan partai membahas pentingnya membangun politik yang berkeadaban, menjunjung tinggi kesantunan, serta memperkuat semangat gotong royong seluruh kekuatan politik nasional.
Sinergi antarpemimpin parpol menjadi kunci penting untuk menyukseskan pembangunan nasional di tengah berbagai tantangan yang dihadapi bangsa. Ia menegaskan, pertemuan tersebut tidak dimaksudkan untuk membahas isu-isu politik praktis semata, melainkan lebih pada agenda besar kebangsaan.
Politikus Partai Golkar sekaligus Wakil Ketua Umum Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI), Arief Rosyid Hasan, juga mengonfirmasi adanya pertemuan empat pimpinan partai politik tersebut. Ia menyebut pertemuan itu sebagai ajang silaturahmi sekaligus diskusi strategis antarpimpinan partai.
Dalam foto itu, Zulkifli Hasan tampak duduk di sebelah Bahlil Lahadalia dan berhadapan dengan Sufmi Dasco Ahmad, sementara Cak Imin terlihat duduk di sebelah Dasco, tepat di depan Bahlil. Foto tersebut memperkuat kesan solid dan cairnya komunikasi antarpimpinan parpol dalam pertemuan tersebut.
Ketua Komisi II DPR RI, Rifqinizamy Karsayuda, menanggapi usulan kepala daerah melalui DPRD. Rifqinizamy mengatakan, berdasarkan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, pemilihan kepala daerah secara demokratis bisa ditafsirkan dengan metode demokrasi langsung dan tidak langsung.
“Dari optik konstitusional, pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota ditegaskan di dalam Pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa gubernur, bupati, wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintahan provinsi, kabupaten, kota dipilih secara demokratis. Kata demokratis ini bisa ditafsirkan sebagai direct democracy dan indirect democracy,” kata Rifqinizamy kepada wartawan, Rabu (31/12/2025) dikutip dari detikcom.
Rifqinizamy mengatakan, pemilihan kepala daerah melalui DPRD memiliki landasan konstitusional yang kuat. Ia menyebutkan pemilihan kepala daerah tak masuk rezim pemilihan umum yang diatur pada Pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945.
“Karena itu, pemilihan melalui DPRD sebagai bentuk dari indirect democracy memiliki landasan konstitusional yang kuat. Yang kedua, di dalam konstitusi pula, pemilihan kepala daerah itu tidak dimasukkan di dalam rezim pemilihan umum yang diatur dalam Pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945,” katanya.
Legislator NasDem ini mengatakan ide terkait pemilihan kepala daerah melalui DPRD tak perlu diperdebatkan dari aspek konstitusional. Hal ini menyikapi sejumlah pro dan kontra terkait usulan tersebut.
“Nah, karenanya, ide terkait dengan pemilihan kepala daerah melalui DPRD menjadi sesuatu yang sebetulnya tidak perlu diperdebatkan dari aspek konstitusional,” kata Rifqinizamy.
Ia menjelaskan, terkait anggapan gubernur yang bisa langsung ditunjuk oleh presiden. Rifqinizamy mengatakan hal itu tidak bisa dilakukan, melainkan mesti mengambil jalan tengah yang mana presiden mengajukan satu hingga tiga nama ke DPRD, pihak DPRD lah kemudian melakukan uji kelayakan dan kepatutan.
“Adapun landasan lain yang bisa digunakan misalnya, apakah gubernur sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat di daerah pada satu pihak dan kepala daerah otonom pada pihak yang lain itu bisa atau tidak ditunjuk oleh presiden sebagaimana usul dari PKB, misalnya, jawabannya tentu tidak bisa karena penunjukan sifatnya tidak demokratis,” kata Rifqinizamy.
“Yang bisa dilakukan adalah formula tengah, di mana presiden mengajukan satu sampai dengan tiga nama ke DPRD provinsi, DPRD provinsi melakukan fit dan kemudian memilih salah satu nama untuk kemudian menjadi gubernur atas usulan dari presiden,” sambungnya.
Ia menilai hal ini bagian dari konsekuensi sistem presidensial yang dianut oleh Indonesia. Pada UUD 1945 diatur jika kekuasaan tertinggi pemerintahan ada di tangan presiden.
“Ini konsekuensi juga dari sistem presidensial yang kita anut pada satu pihak dan menempatkan presiden sebagai pemimpin kekuasaan tertinggi pemerintahan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Dasar 1945 di pihak yang lain,” ujar Rifqinizamy.
Rifqinizamy lantas berbicara soal pembahasan revisi UU Pemilu yang akan dilakukan oleh Komisi II DPR RI. Ia mengatakan revisi terhadap Undang-Undang 7 Tahun 2017 tentang pemilu berisi dua jenis pemilu, yaitu pemilihan umum presiden dan pemilihan umum legislatif.
“Adapun pemilihan kepala daerah diatur dalam rezim yang lain, yaitu di dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. Kami secara kelembagaan Komisi II DPR RI sebagai komisi yang selama ini diberikan urusan konstitusional di bidang kepemiluan, tentu siap untuk kemudian melakukan pembahasan terhadap berbagai usul mekanisme pemilihan kepala daerah yang sekarang berkembang,” kata Rifqinizamy.
Komisi II DPR disebut siap jika nantinya revisi ini memungkinkan pembahasan dilakukan secara kodifikasi. Maka, lanjut Rifqinizamy, pembahasan sistem pemilihan kepala daerah juga menjadi satu poin dari revisi itu.
“Dan karena itu, jika tugas itu diberikan Komisi II DPR RI dan jika memungkinkan pembahasannya dilakukan dalam bentuk kodifikasi hukum kepemiluan atau kodifikasi hukum pemilihan kita ke depan, maka bisa jadi nanti dijadikan satu antara revisi Undang-Undang Pemilu, Undang-Undang 7 Tahun 2017, dengan revisi undang-undang lain, termasuk Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, Wali Kota yang kita butuhkan untuk melakukan penataan pemilu dan pemilihan ke depan di Indonesia,” imbuhnya.
(ret)


