Fakfak – Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia merespon adanya seruan salah satu tokoh nasional. PP Muhammadiyah. Din Syamsuddin terkait rencana pemerintah memberikan konsesi izin tambang kepada ormas keagamaan seperti NU. Menurutnya, setiap orang punya hak untuk berpendapat termasuk menolak setiap kebijakan yang dilakukan pemerintah sekalipun, begitu kata Bahlil saat menggelar Konferensi Pers. Edisi Jumat, 7 Juni 2024 siang. Terkait Redistribusi IUP kepada masyartakat untuk pengelolaan sumber daya alam yang inklusif dan berkeadilan.
“Yang pertama, negara kita ini negara demokrasi, kita menghargai perbedaan, pendapat itu kita mengharghai, kalau ditanya bahwa ada yang menolak da nada yang menerima (Pemberian izin tambang-red) itu biasa saja, kalau menolak tidak apa-apa, kita hargai, tapi feeling saya. Tidak ada masalah yang tidak bsia diselesaikan semuanya diselesaikan dengan komunikasi yang baik. Mungkin juga ada yang terjelaskan dengan baik kita siap hadir untuk jelaskan. Pak Din juga kan senior saya. Guru bangsa, bisa kok kalau kesana kita jelaskan”. Ujar bahlil
Bahlil menduga perbedaan persepsi ini muncul akibat keluarnya Peraturan Pemerintah yang mungkin tidak baca utuh oleh para pihak sehingga mendistribusikan itu ke media dan membuat tafsiran yang berbeda, pada akhirnya kabur semuany, Bahlil berharap semua persoalan bisa clear ketika diberikan penjelasan dengan baik dan cermat, “kalau ada organisasi kemasyarakat yang tidak butuh juga tidak apa-apa, kita tidak boleh paksa”. Ulasnya.
Sebelumnya, Tokoh nasional Din Syamsuddin menyarankan agar PP Muhammadiyah menolak tawaran pemerintah untuk mengelola tambang, menyebut tawaran tersebut lebih banyak mudaratnya. Pemerintah telah memberikan kesempatan kepada organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan untuk mendapatkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024, yang merupakan perubahan atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
PP tersebut ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo pada 30 Mei 2024.“Dengan husnuzan pemberian konsesi tambang batubara untuk ormas keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah dapat dinilai positif sebagai bentuk perhatian pemerintah kepada mereka. Namun, hal demikian sangat terlambat, dan motifnya terkesan untuk mengambil hati. Maka, suuzan tak terhindarkan,” kata Din dalam keterangan tertulisnya yang diterima mataradarindonesia.com
Din menjelaskan, saat dirinya diminta menjadi Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerja Sama Antar Agama dan Peradaban, ia menolak dua kali dan mensyaratkan agar Presiden Joko Widodo menanggulangi ketidakadilan ekonomi antara kelompok yang menguasai aset nasional di atas 60 persen dan umat Islam yang terpuruk dalam bidang ekonomi. Namun, menurut Din, Presiden menjawab bahwa hal itu tidak mudah.
“Saya katakan mudah seandainya ada kehendak politik (political will). Yang saya mintakan hanya pemerintah melakukan aksi keberpihakan (affirmative actions) dengan menciptakan keadilan ekonomi dan tidak hanya memberi konsesi kepada pihak tertentu. Juga, agar mau menaikkan derajat satu-dua pengusaha muslim menjadi setara dengan taipan. Hal demikian perlu agar kesenjangan ekonomi yang berimpit dengan agama dan etnik tidak menimbulkan bom waktu bagi Indonesia,” jelas Din.
Din mengakui bahwa kini ada kehendak politik lewat Menteri Investasi Bahlil Lahadalia. “Walau tidak ada kata terlambat, namun pemberian konsesi itu tidak dapat tidak mengandung masalah,” tambahnya.
Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah Pondok Labu ini menjelaskan bahwa pemberian konsesi tambang batubara kepada NU dan Muhammadiyah tetap tidak seimbang dengan jasa dan peran kedua ormas Islam itu dan tetap tidak seimbang dengan pemberian konsesi kepada perusahaan-perusahaan besar yang menguasai lahan luas.
Din mencontohkan bahwa beberapa perusahaan menguasai lahan seluas sekitar 5 juta hektare, menunjukkan bahwa dunia minerba Indonesia dikuasai oleh segelintir perusahaan saja. “Sumber Daya Alam Indonesia sungguh ‘dijarah secara serakah’ oleh segelintir orang yang patut diduga berkolusi dengan pejabat,” ujarnya.
Din juga menyoroti bahwa pemberian tambang batubara dilakukan di tengah protes global terhadap energi fosil sebagai penyebab perubahan iklim dan pemanasan global. Dia menyebut bahwa dirinya diminta mewakili Islam meletakkan petisi kepada Sekjen PBB agar pada 2050 tidak ada lagi energi fosil. “Maka, besar kemungkinan yang akan diberikan kepada NU dan Muhammadiyah adalah sisa-sisa dari kekayaan negara (sila bandingkan dengan lahan yg dikuasai oleh para pengusaha),” kata Din.
Menurut Din, pemberian tambang “secara cuma-cuma” kepada NU dan Muhammadiyah berpotensi menjadi jebakan. Berdasarkan pendapat pakar, sistem tata kelola tambang menggunakan sistem IUP dan Kontrak Karya adalah sistem zaman kolonial yang tidak sesuai dengan Konstitusi dan tidak menjamin perolehan negara/APBN lebih besar dari keuntungan bersih penambang. Sistem ini juga terbukti disalahgunakan oleh pejabat negara yang memiliki wewenang mengeluarkan IUP, sehingga menjadi sumber korupsi. “Jika ormas keagamaan masuk ke dalam lingkaran setan kemungkaran struktural tersebut maka siapa lagi yang diharapkan memberi solusi,” ujarnya.
Din menyatakan bahwa pemberian konsesi tambang batubara kepada organisasi masyarakat dalam keadaan politik nasional yang kontroversial akibat pemilu/pilpres akan mudah dipahami sebagai upaya kooptasi, peredaman tuduhan ketakadilan, dan di baliknya akan memuluskan jalan penguasaan ekonomi oleh pihak tertentu dan kaum kleptokrat di pemerintahan. Harapannya, NU dan Muhammadiyah bungkam terhadap kemungkaran di depan mata. (ret)