Charles Rahangmetan, Kuasa Hukum, SN, AZTI, dan SHI, : “Bahwa ternyata JPU tidak punya dasar audit, tidak punya dasar penghitungan kerugian negara, cuma harap gampang menentukan (RKA) pada tupoksi masing-masing terdakwa dijadikan sebagai nilai uang yang dikorupsi, lalu dituntut kepada masing-masing terdakwa untuk membayar uang pengganti sejumlah itu, sungguh keterlaluan, jika demikian maka pemilukada di kabupaten fakfak hancur total alias gagal total, tidak akan terjadi pemilukada, tidak akan ada bupati dan wakil bupati fakfak”, Ulasnya.
Laporan : Rustam Rettob / Wartawan.
Fakfak – Kuasa Hukum terduga kasus dugaan korupsi dana bawaslu fakfak, Charles Rahangmetan menilai dakwaan JPU terhadap 5 terdakwa kasus dugaan korupsi dana bawaslu fakfak tersebut berpotensi cacat hukum dan kabur, karena unsur kerugian negara yang ditentukan tidak jelas alias “Abu-abu”.
“Surat dakwaan jaksa penuntut umum itu cacat hukum karena dakwaan tersebut melanggar pasal 2 jo. pasal 18 (untuk dakwaan primair), sementara (untuk dakwaan subsider) melanggar pasal 3 jo. pasal 18 UU TIPIKOR, didalam pasal 18 tersebut ada ayat 1, terdiri dari huruf a,b,c, dan d, serta ayat 2 dan ayat 3,
Nah, jaksa dalam surat dakwaan tidak menentukan pasal 18 ayat berapa dan huruf apa sehingga mengenai uang pengganti, perampasan barang, pencabutan hak dan penutupan perusahaan, jaksa tidak cermat menyususn surat dakwaan sehingga menurut pasal 143 ayat 3, dakwaan yang tidak memenuhi syarat sebagaimana disebutkan dalam pasal 143 ayat 3 huruf b batal demi hukum”, Hal itu disampaikan Charles D. Rahangmetan kepada mataradarindonesia.com, Senin, (31/1) siang.
Lanjut dijelaskan bahwa penyidikan kasus dugaan korupsi dana bawaslu fakfak, kata Rahangmetan, Jaksa dinilai melanggar hukum, atau penegakkan hukum dengan cara melanggar hukum karena jelas-jelas melanggar ketentuan Permendagri Nomor : 54 Tahun 2019 yang mana regulasi dimaksud adalah untuk menentukan waktu pengguna dana hibah pemilu kepada pemberi hibah tiga bulan setelah pengusulan penetapan calon terpilih Bupati dan Wakil Bupati Fakfak.
Charles menolak dakwaan Jaksa tersebut karena menurut dia, sebelum 3 bulan pasca penetapan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap Calon terpilih bupati dan wakil bupati fakfak sebagaimana ketentuan diatas, Jaksa sudah masuk melakukan proses penyelidikan hingga penyidikan, dimana masa tersebut Bawaslu sedang menyusun laporan pertanggungjawaban, tegas dia, “Jaksa terbukti menegakkan aturan dengan cara menabrak aturan karena tidak memperhatikan Permendagri tersebut”, Terang dia.
“Putusan MK jatuh pada 13 Februari 2021, penetapan KPU Kabupaten Fakfak 21 Februari 2021, 3 bulan setelah 21 Februari 2021 berarti ke 21 Mei 2021, nantinya setelah dilaporkan penggunaan dana tersebut ke pemberi hibah dan dilakukan pemeriksaan ternyata ada temuan kerugian negara diakhir laporan tersebut setelah itu jaksa boleh masuk dan lakukan penyelidikan, berbeda dengan kondisi dilapangan, Bawaslu sedang menyusun laporan pertanggung jawaban, jaksa mulai lakukan penggerebekan hingga penyegelan kantor bawaslu fakfak dampaknya bawaslu tidak bisa berkutik banyak dan tak berbuat banyak karena seluruh dokumen disita oleh jaksa melalui tim penyidik saat itu”, Urai Charles Rahangmetena.
Dakwaan Jaksa dalam surat dakwaan tersebut, JPU menuntut kelima terduga dugaan korupsi tersebut melanggar pasal 2, menurut Charles dalam kajianya, kelima terduga tersebut tidak terbukti melanggar pasal 2 UU Tipikor karena tidak memenuhi unsur setiap orang dalam dakwaan (primair), “Karena dakwaan berbentuk subsideritas makanya satu unsur tidak terpenuhi maka dakwaan itu tidak terpenuhi”, Terang Charles.
Charles membuka pasal 3 sebagaimana dalam dakwaan JPU, menurut dia, didalam persidangan kemarin, tidak terbukti fakta hukum bahwa para terdakwa menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukanya, menurut pengakuan Charles, “Tidak ada dan tidak terbukti saat sidang”, Beber dia.
Merespon unsur kerugian negara yang dialamatkan kepada terdakwa terduga dugaan korupsi dana bawaslu fakfak, Charles menguraikan bahwa unsur kerugian negara didalam perkara tersebut “Abu-abu”, pasalnya ahli BKPK menentukan kerugian negara berbeda dengan kerugian negara yang ditentukan oleh Jaksa penuntut umum saat sidang berlangsung beberapa waktu kemarin.
“Ahli BPKP menentukan kerugian negara atas perbuatan terdakwa adalah, Rp. 5. 669. 469 lebih, ternyata didalam proses persidangan berlangsung, JPU menentukan kerugian negara yang berbeda dengan BPKP, Jaksa menentukan Rp. 5 Miliar 9 ratus juta lebih, sementara metode yang digunakan oleh ahli BPKP adalah metode hitung, tambah, bagi dan kurang, sementara bukti-bukti pengeluaran selama sidang tidak pernah diperiksa oleh ahli, lalu dari mana JPU bisa mendapatkan kerugian negara ini”, Tanya Charles.
Charles juga menyampaikan dia bersama beberapa Pengacara memasukkan aksi keberatan karena awalnya ada kesepakatan untuk menghadirkan saksi ahli saat sidang ternyata ketika sidang berlangsung kemarin, saksi ahli hanya dihadirkan secara virtual, menurut Rahangmetan, pola ini sangat merugikan dia bersama klienya karena tidak bisa bercakap langsung soal apa yang menjadi keinginan mereka,
“Dalam persidangan beberapa waktu kemarin kami pengacara yang ada melakukan aksi keberatan karena kami minta ahli tidak diperiksa secara virtual tetapi kami minta ahli datang memberikan keterangan diruang sidang secara langsung, ini sudah dikabulkan hakim dan disetujui, termasuk penuntut umum, lho, ternyata ahli tidak datang diarena sidang malah hadir secara virtual sehingga kami keberatan dengan cara tidak mengajukan pertanyaan kepada ahli, apakah ini sudah disetting sehingg kami tidak bisa menunjukan bukti-bukti kepada saksi ahli”, Kesal Charles Rahangmetan.
Meski demikian, Rahangmetan diakhir wawancara ini mengakui ada unsur kerugian negara yang dilakukan oleh terduga kasus korupsi dana bawaslu fakfak yakni, pajak yang belum dibayarkan oleh Bawaslu Kabupaten Fakfak, honor Panwas Distrik yang belum diterima serta beberapa item belanja yang hingga saat ini terdakwa tidak bisa membuktikan, tetapi menurut Charles nilainya bukan 5 Miliar yang dituduhakn jaksa,
“Benar ada kerugian negara tapi bukan sebesar 5 Miliar sebagaimana tuduhan jaksa, oleh karena itu kami sebagai kuasa hukum meminta kepada hakim untuk memerintahkan kepada jaksa kembalikan perkara tersebut untuk diperiksa karena menuduh terdakwa dengan kerugian negara yang “Abu-abu, KUHAP memerintahkan bahwa hakim bisa memerintahkan untuk perkara ini dilakukan penyidikan ulang oleh ahli yang berbeda, karena selama dalam persidangan barang bukti yang disita jaksa tidak pernah dibuktikan dalam persidangan”, “Ujar Charles Rahangmetan.
Kuasa hukum meminta agar hakim pengadilan tipikor mengadili perkara ini dengan tidak memihak negara, dan juga tidak memihak terdakwa namun harus pro obyektif dalam memutuskan perkara dimaksud, itu sesuai perintah pasal 1 angka 9 KUHAP menyebutkan, “Hakim tidak boleh memihak, tapi bebas, dan jujur”, Urainya.
Sebelumnya diketahui, Jaksa Penuntut Umum (JPU) membacakan dakwaan terahadap terduga kasus dugaan korupsi Dana Pengawas Pemilu serentak Kabupaten Fakfak Tahun 2020 dengan tuntutan 9 Tahun Penjara,
Selain Jaksa menuntut 3 Komisioner, 1 orang Koorsek dan 1 orang Bendahara Bawaslu Fakfak dihukum 9 Tahun penjara, Jaksa juga meminta Majelis Hakim untuk memutuskan denda sebesar Rp. 500 Juta untuk kelima terduga korupsi ini.
Dalam tuntutannya juga JPU memohon kepada Majelis Hakim Pengadilan Tipikor untuk menghukum 5 terdakwa membayar uang pengganti (UP) bervariasi mulai dari Rp.700 juta lebih hingga tertinggi Rp.1,8 Miliar lebih.
Dimana untuk terdakwa FT dalam tuntutan, JPU memohon Majelis Hakim untuk menjatuhkannya membayar uang pengganti sebesar Rp. 764. 467. 300, – (Tujuh ratus enam puluh empat juta empat ratus enam puluh tujuh ribu tiga ratus rupiah),
Untuk terdakwa YK, JPU menuntut membayar uang pengganti sebesar Rp. 817. 961. 800, – (Delapan ratus tujuh belas juta sembilan ratus enam puluh satu ribu delapan ratus rupiah).
Sedangkan untuk terdakwa SHI, JPU memohon agar majelis hakim Pengadilan Tipikor juga menjatuhkan terdakwa agar membayar uang pengganti sebesar Rp. 1.837.165.200.- (Satu miliar delapan ratus tiga puluh tujuh juta seratus enam puluh lima ribu dua ratus rupiah) dan untuk terdakwa berinisial AZTI,
JPU meminta majelis hakim Pengadilan Tipikor agar juga menjatuhkan terdakwa untuk membayar uang pengganti sebesar Rp. 1. 188. 951. 800, – (satu miliar seratus delapan puluh delapan juta sembilan ratus lima puluh satu ribu delapan ratus rupiah) serta untuk terdakwa SN, JPU juga meminta agar majelis hakim menjatuhkan hukuman agar terdakwa membayar uang pengganti sebesar Rp. 1. 324. 524 .309, – (Satu miliar tiga ratus dua puluh empat juta lima ratus dua puluh empat ribu tiga ratus sembilan rupiah).
Dengan ketentuan apabila uang pengganti tersebut tidak dibayarkan dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, maka harta benda terpidana akan disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut,
Apabila dikemudian hari jika terpidana tidak mempunyai harta yang mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut maka diganti dengan pidana penjara selama 4 (empat) Tahun dan 6 (enam) bulan.
Tuntutan untuk 5 terdakwa tersebut dikarenakan JPU menilai para terdakwa terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan UU.RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 Ayat 1 ke (1) KUHP sesuai dalam Surat Dakwaan Primair. (ret)