Jakarta – Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Abdul Mu’ti, menyampaikan konsep Pendidikan Agama Islam (PAI) Pluralistis yang mana prinsip-prinsipnya bisa diterapkan dalam pendidikan agama secara umum.
“Kita perlu berpikir strategis dan sistematis bagaimana memelihara pluralitas melalui pendidikan agama. Pendidikan agama seringkali dimaknai sebagai faktor pemisah. Namun, dalam banyak kasus, pendidikan agama justru bisa menjadi faktor pemersatu,” kata Mu’ti, yang juga menyampaikan pidato tentang PAI Pluralistis saat pengukuhannya sebagai Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta pada 2020.
Dia menyebut PAI Pluralistis mengembangkan 3 konsep penting dalam pendidikan, yaitu mindful education artinya mengakui eksistensi setiap orang termasuk pilihannya dalam beragama, pendidikan inklusif, dan membuka ruang dialog dalam pendidikan baik tekstual maupun relasi personal. Mengenai pendidikan inklusif, Mu’ti menegaskan layanan pendidikan agama perlu disediakan kepada setiap siswa pemeluk agama, sekalipun di luar 6 agama resmi.
“Menurut saya, beragama tidak bisa dikuantifikasikan, berapa jumlah siswa sehingga menjadi syarat administratif diselenggarakannya pendidikan agama. Kita harus bisa memberikan layanan pendidikan agama yang inklusif bagi semua peserta didik dari agama apa pun,” kata Mu’ti.
Ketua Bidang Perempuan, Remaja, dan Keluarga Majelis Ulama Indonesia, Amany Lubis, mengatakan perempuan perlu bertransformasi demi penguatan martabat manusia dalam kehidupan masyarakat pluralistik. Senada dengan itu, Direktur Eksekutif Wahid Foundation, Mujtaba Hamdi, mengatakan Indonesia memiliki banyak pekerjaan rumah untuk menjadi negara sesuai filosofi Pancasila. Menurutnya, perlu adanya perbaikan dalam sektor pendidikan dari sisi sistem, aktor yaitu guru dan siswa, serta pembudayaan toleransi di kelas.
Rex E.Lee Chair dan Profesor Hukum di Brigham Young University, Brett G. Scharffs, mengatakan martabat manusia adalah gagasan mendasar bagi hak asasi manusia. Para perumus Deklarasi Universal HAM (DUHAM) Perserikatan Bangsa-bangsa dari 18 negara memfokuskan diri pada martabat manusia dalam proses mengidentifikasi, merinci, dan mengartikulasi 30 pasal singkat yang kemudian membentuk teks final DUHAM.
Senior Research Fellow University of Washington, Chris Seiple, menyampaikan konsep pluralisme berkovenan atau convenantal pluralism yaitu komitmen untuk berhubungan, menghormati, dan melindungi yang lain, terlepas dari kepercayaannya atau perilaku yang timbul darinya, baik kita setuju atau tidak. “Pluralisme yang positif adalah pluralisme yang berkovenan, yaitu janji, moral untuk terlibat dengan pihak yang berbeda dan menghormati mereka,” kata Seiple.
Dalam konferensi internasional virtual ini, hadir pula sebagai pemberi kata sambutan, Staf Ahli Bidang Penguatan Reformasi Birokrasi Kemenkumham RI, Iwan Kurniawan, dan Senior Fellow Institut Leimena, Maruarar Siahaan. Konferensi akan kembali diadakan hari ini, Kamis (15/9), pukul 19.00-21.00 WIB via Zoom. [IL/Chr]