Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pembuktian Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Gubernur Papua dengan agenda Mendengarkan Keterangan Saksi/Ahli, Memeriksa, dan Mengesahkan Alat Bukti Tambahan untuk Perkara Nomor 328/PHPU.GUB-XXIII/2025 pada Jumat (12/9/2025). Salah satu dalil Pemohon yang didalami lebih lanjut mengenai dugaan partisipasi pemilih melebihi 100 persen Daftar Pemilih Tetap (DPT) di 62 tempat pemungutan suara (TPS) di 8 Kabupaten/Kota pada Pemungutan Suara Ulang Pemilihan Gubernur (PSU Pilgub) Papua pasca Putusan MK sebelumnya.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makassar yang juga Ahli Hukum Pemilu, Aswanto, menjadi Ahli yang dihadirkan Pemohon. Menurut Aswanto, tidak dibenarkan untuk menambah pemilih pada semua TPS saat pelaksanaan PSU pada 6 Agustus 2025. Sebab, Mahkamah dalam Putusan MK Nomor 304/PHPU.GUB-XXIII/2025 mengenai PHPU Gubernur Papua memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Papua selaku Termohon melaksanakan PSU dengan tetap menggunakan DPT, Daftar Pemilih Pindahan, dan Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) yang digunakan dalam pemungutan serentak pada 27 November 2024.
“Artinya kalau ada perubahan DPT, perubahan Daftar Pemilih Pindahan, dan Daftar Pemilih Tambahan itu berarti bahwa penyelenggara tidak hormat, tidak patuh pada Putusan Mahkamah Konstitusi apapun alasannya, misalnya alasan mau mengakomodasi, itu tidak bisa, karena ini putusan MK,” ujar Aswanto di Ruang Sidang MK, Jakarta.
Oleh karenanya, tindakan penyelenggara yang memperbolehkan pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT menggunakan hak pilihnya di luar Putusan MK adalah tindakan yang bertentangan dengan Putusan MK Nomor 304/PHPU.GUB-XXIII/2025 yang berkonsekuensi dapat dibatalkan oleh Mahkamah. Selain itu, tindakan tersebut juga potensial terjadi tindak pidana pemilihan dengan membiarkan orang yang tidak punya hak pilih menggunakan hak pilihnya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 178C ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pemilihan Kepala Daerah/Pilkada).
Kemudian Pemohon juga menghadirkan Mantan Ketua KPU Republik Indonesia Ilham Saputra. Ilham menuturkan anomali partisipasi pemilih yang mencapai bahkan melebihi 100 persen di sejumlah TPS mengindikasikan adanya persoalan mendasar, seperti pencatatan ganda, masuknya pemilih tidak berhak, atau manipulasi angka. Menurut dia, secara hukum maupun logika, hal tersebut mustahil terjadi apabila pencatatan benar-benar berbasis daftar hadir.
Dia mengatakan penggunaan C. Pemberitahuan sebagai dasar koreksi jelas bertentangan dengan Pasal 58 ayat (1) Peraturan KPU Nomor 17 Tahun 2024 sehingga cacat hukum dan tidak memiliki legitimasi administrasi karena C. Pemberitahuan hanya sebagai undangan memilih serta tidak dapat membuktikan kehadiran maupun penggunaan hak pilih. Seharusnya koreksi dilakukan Termohon menggunakan D. Daftar Hadir di setiap TPS yang kemudian dituangkan ke dalam formulir C. Hasil-KWK TPS lalu dihimpun dalam D. Hasil-KWK Kecamatan, selanjutnya direkap dalam D. Hasil-KWK Kabupaten/Kota sampai akhirnya terakumulasi dalam D. Hasil-KWK Provinsi.
“Mekanisme berjenjang ini dimaksudkan agar setiap angka dalam rekapitulasi bisa ditelusuri kembali ke sumbernya di tingkat TPS. Karena itu, bila dalam pleno rekapitulasi tingkat kabupaten atau provinsi ditemukan adanya anomali jumlah pengguna hak pilih, maka mekanisme verifikasi yang sah adalah menelusuri kembali angka tersebut secara berjenjang hingga ke D. Daftar Hadir TPS,” tutur Ilham.
Di sisi lain, Pihak Terkait menghadirkan I Gusti Putu Artha yang pernah menjadi anggota KPU RI periode 2007-20012. Menurut dia, data DPT bisa tetap sama dari yang digunakan pada 27 November 2024 dengan PSU pada 6 Agustus 2025. Namun, pada kenyataannya jumlah DPT bisa berkurang karena misalnya ada pemilih yang alih status dari sipil menjadi TNI/Polri ataupun meninggal dunia.
Putu melanjutkan perubahan jumlah tentu bisa terjadi pada DPTb dan DPK. Sebab, penyelenggara pilkada tidak bisa memaksa pemilih yang masuk DPTb dan DPK untuk kembali mencoblos di TPS yang sama ketika 27 November 2024 karena misalnya yang bersangkutan sudah berada di tempat atau daerah lain. Menurut Putu, yang paling penting ialah jumlah pengguna hak pilih pada saat PSU tidak melebihi pengguna hak pilih pada saat pemungutan pada 27 November 2024.
“Cek saja di situ berapa jumlah DPT-nya, pengguna hak pilihnya, berapa kemudian yang menggunakan hak suara, berapa DPK (Daftar Pemilih Khusus) secara keseluruhan. Kalau kemudian jumlahnya menjadi sangat besar tidak rasional di level seluruh pilkada provinsi baru lah kita boleh curiga,” tutur dia.
Sementara itu, Termohon melalui Saksi yang salah satunya ialah Anggota KPU Kabupaten Jayapura Muhammad Muzni Farawowan membantah tuduhan adanya perubahan perolehan suara dari C. Hasil ke D. Hasil berupa penambahan suara untuk Pasangan Calon (Paslon) 02 di tiga TPS versi Pemohon. Selain itu, tidak benar ada kejanggalan jumlah pengguna hak pilih lebih dari 100 persen DPT di dua TPS yaitu TPS 031 Sentani Kota dan TPS 003 Ilfele karena pemilih yang menggunakan hak pilihnya di TPS tersebut adalah pemilih yang sah dalam DPT, DPTb, maupun DPK.
“Tingkat partisipasi pemilih yang benar adalah menggunakan rumus total jumlah pengguna hak pilih dibagi dengan jumlah pemilih DPT ditambah DPTb ditambah DPK, sehingga hasilnya tidak ada yang melebihi 100 persen,” kata dia.
KPU Klarifikasi Tuduhan Pemohon BTM-CK Soal Partisipasi Pemilih Pilgub Papua
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Papua (Termohon) menyebut dalil Pasangan Calon (Paslon) Nomor Urut 1 Benhur Tomi Mano-Constant Karma (Pemohon) mengenai persoalan partisipasi pemilih melebihi 100 persen Daftar Pemilih Tetap (DPT) di 62 tempat pemungutan suara (TPS) di 8 Kabupaten/Kota pada Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilihan Gubernur (Pilgub) Papua tidak disertai dengan adanya bukti pelanggaran hukum atau kesalahan petugas. Menurut KPU, para pemilih pindahan dalam Daftar Pemilih Tambahan (DPTb) serta pemilih tambahan dalam Daftar Pemilih Khusus (DPK) yang ikut mencoblos pada 27 November 2024 masih dapat tetap menggunakan hak pilihnya untuk PSU pada 6 Agustus 2025.
Termohon menjelaskan para pemilih di luar DPT itu telah sesuai dengan lokasi TPS di mana pemilih tersebut terdaftar sebagai pemilih pada pemilihan tanggal 27 November 2024. Berkaitan dengan status pemilih tersebut, Termohon berpedoman pada kebijakan dari KPU RI yang telah mengeluarkan surat dinas tindak lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Berdasarkan surat dinas KPU RI dimaksud, pemilih yang dapat menggunakan hak pilihnya di TPS adalah pemilih DPT, pemilih pindahan pada DPTb, dan pemilih tambahan pada DPK yang digunakan pada waktu pemungutan 27 November 2024.
Selain itu, terdapat surat suara cadangan 2,5 persen, surat suara yang dimaksudkan untuk mengganti apabila terdapat surat suara yang rusak atau keliru dicoblos. Surat suara cadangan ini bisa digunakan untuk pemilih pindahan atau pemilih tambahan yang hadir ke TPS sesuai Pasal 21 Peraturan KPU Nomor 17 Tahun 2024.
“Dengan demikian, adalah wajar apabila terdapat pemilih lebih dari 100 persen DPT karena misalnya pengguna hak pilih pada DPT datang 100 persen dan di TPS itu terdapat pemilih pindahan (DPTb) dan/atau adanya pemilih tambahan (DPK),” ujar Ali Nurdin selaku kuasa hukum Termohon secara daring dalam sidang Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Gubernur Papua untuk Perkara Nomor 328/PHPU.GUB-XXIII/2025 pada Kamis (4/9/2025).
Menurut Termohon, Pemohon seharusnya konsisten mempersoalkan data pemilih yang menggunakan hak pilihnya pada 6 Agustus 2025 bukan semata-mata mengenai adanya partisipasi pemilih lebih dari 100 persen, melainkan juga TPS-TPS lain yang jumlah partisipasi pemilihnya kurang dari 100 persen. Namun terdapat permasalahan berkaitan dengan data pemilih yang menggunakan hak pilihnya waktu PSU pada 6 Agustus 2025 tetapi tidak terdaftar sebagai pemilih DPT, DPTb, maupun DPK yang digunakan pada pemungutan suara serentak pada 27 November 2024 lalu.
Sementara Pemohon hanya mempermasalahkan mengenai partisipasi pemilih yang lebih dari 100 persen tanpa menguraikan apakah pada pemilih tersebut yang terdapat pada 62 TPS dimaksud terdaftar sebagai pemilih pada waktu pencoblosan 27 November 2024. Pemohon tidak sedikitpun menjelaskan siapa saja identitas para pemilih dari setiap TPS pada 62 TPS yang didalilkan tidak sah sebagai pemilih.
Menurut Termohon, Pemohon juga tidak mampu menguraikan pengaruh dari adanya pemilih yang melebihi 100 persen DPT di setiap TPS dari 62 TPS di 8 Kabupaten/Kota terhadap perolehan suara masing-masing pasangan calon yang secara signifikan dapat mempengaruhi hasil pemilihan. Apalagi dari 62 TPS yang dipersoalkan oleh Pemohon ternyata banyak TPS yang perolehan suara Pemohon menang melebihi perolehan Paslon Nomor Urut 2 Matius Fakhiri-Aryoko Alberto Ferdinand Rumaropen selaku Pihak Terkait dalam perkara ini.
Salah satunya, Pihak Terkait yang diwakili kuasa hukumnya menyebutkan Pemohon justru mendapatkan suara tertinggi di 55 persen TPS atau 11 TPS yang didalilkan terjadi pelanggaran di Kota Jayapura. Permintaan Pemohon untuk menghilangkan hak pilih pemilih yang sudah diberikan pada 20 TPS di Kota Jayapura melanggar hak konstitusional dan tidak signifikan pula mempengaruhi kekalahan Pemohon.
“Yang menarik Majelis, Pemohon yang memenangi perolehan suaranya di TPS yang justru dipersoalkannya,” ujar Bambang Widjojanto selaku kuasa hukum Pihak Terkait.
Sementara itu, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Provinsi Papua menyatakan telah mengeluarkan saran perbaikan yang pada pokoknya meminta kepada KPU Provinsi Papua untuk memerintahkan sejumlah KPU Kabupaten/Kota melakukan pencermatan terhadap beberapa TPS terkait data pemilih, daftar hadir pemilih, pencatatan kejadian khusus, penyelesaian keberatan, dan hal lainnya. KPU Provinsi Papua akan mempertimbangkan dan hasil pertimbangan terhadap saran perbaikan tersebut akan disampaikan secara tertulis kepada Bawaslu Papua.
Pemohon mendalilkan selisih suaranya sebesar 0,8 persen atau 4.134 suara dengan Pihak Terkait karena adanya partisipasi pemilih di atas 100 persen melebihi DPT yang tersebar di 62 TPS. KPU Provinsi Papua telah menetapkan hasil penghitungan suara pasca PSU yaitu Paslon Nomor Urut 1 memperoleh 255.683 suara dan Paslon Nomor Urut 2 meraih 259.817 suara. Selisih sebesar 4.134 suara atau 0,8 persen tersebut di bawah ambang batas untuk mengajukan permohonan PHPU Gubernur Papua ke MK yakni 10.310 suara atau 2 persen dari jumlah total suara sah.
Sementara Pemohon mengeklaim seharusnya mendapatkan 246.418 suara, unggul tipis dari Paslon Nomor Urut 2 atau Pihak Terkait dalam perkara ini yang semestinya hanya memperoleh 245.528 suara. Penambahan suara kepada Pihak Terkait diduga karena adanya partisipasi pemilih di atas 100 persen pada 62 TPS yaitu terdiri dari 2 TPS di Kabupaten Jayapura; 7 TPS di Kabupaten Kepulauan Yapen; 2 TPS di Kabupaten Biak; 3 TPS di Kabupaten Sarmi; 2 TPS di Kabupaten Supiori; 25 TPS di Kabupaten Keerom: 1 TPS di Kabupaten Waropen; dan 20 TPS di Kota Jayapura.
Pemohon mengatakan adanya partisipasi pemilih diatas 100 persen melanggar Putusan MK Nomor 304/PHPU.GUB-XXIII/2025 karena dalam pertimbangan hukum dan amar putusan menyatakan DPT yang digunakan dalam PSU adalah DPT yang digunakan juga dalam pemungutan suara serentak pada 27 November 2024. Sebab itu tidak dibenarkan untuk menambah pemilih pada tiap-tiap TPS pada saat pelaksanaan PSU yang diselenggarakan pada 6 Agustus 2025.
Pemohon mengaku sudah menyampaikan keberatan secara berjenjang pada rapat pleno rekapitulasi di tingkat Distrik, Kabupaten, dan Provinsi. Kemudian telah ada saran perbaikan dari Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Provinsi Papua pada saat rapat pleno rekapitulasi penghitungan suara di tingkat Provinsi untuk setiap Kabupaten dan Kota, tetapi Termohon mengabaikan keberatan dari Pemohon dan tidak mengindahkan saran perbaikan dari Bawaslu Provinsi tersebut.
Selain itu, Pemohon juga mendalilkan ketidaknetralan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Bahlil Lahadia sekaligus Ketua Umum DPP Partai Golkar karena terlalu sering melakukan kunjungan kerja ke Papua yang diduga untuk memenangkan Pihak Terkait. Pemohon menyebut Penjabat (Pj) Papua Agus Fatoni melakukan kegiatan intervensi politik yang diduga untuk memberikan dukungan secara tidak langsung kepada Pihak Terkait di Yayasan Hikmah Al Bunayyah di Distrik Heram Kota Jayapura.
Kemudian Pemohon mendalilkan Bupati Keerom Piter Gusbager sekaligus Ketua Umum DPP Partai Golkar Kabupaten Keerom menggunakan kewenangannya untuk menggerakan Kepala Kampung untuk memenangkan Pihak Terkait. Bahkan Pemohon juga menyebut oknum polisi tidak netral dengan melakukan tindakan intimidasi kepada sejumlah anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dan anggota Panitia Pemilihan Distrik (PPD), Panitia Pengawas Pemilihan Distrik (Pandis), KPU Daerah, dan Bawaslu Kabupaten/Kota guna mengubah hasil penghitungan suara C. Hasil tingkat KPPS dan D. Hasil KWK tingkat Distrik agar memenangkan Paslon Nomor Urut 2 Fakhiri-Aryoko pada sejumlah daerah di Kabupaten/Kota se-Papua.
Karena itu, dalam petitumnya para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk membatalkan Keputusan KPU Provinsi Papua Nomor 640 Tahun 2025 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur (Pilgub) Papua Tahun 2024 Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi yang ditetapkan dan diumumkan pada 20 Agustus 2025 pukul 22.40 WIT sepanjang perolehan suara di 92 TPS yang tersebar di sejumlah Kabupaten/Kota di Provinsi Papua serta menetapkan perolehan suara Pilgub Papua yang benar menurut Pemohon di atas.
Perkara ini disidangkan Majelis Hakim Panel II yang dipimpin Wakil Ketua MK Saldi Isra dengan didampingi Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur. Saldi mengatakan, perkara ini kemudian akan disampaikan kepada para hakim konstitusi lainnya dalam Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) untuk menentukan kelanjutannya. Hasil RPH nanti dapat berupa pemeriksaan perkara dapat dilanjutkan atau perkara tidak dilanjutkan. “Nanti tergantung hasil pembahasan di RPH,” kata Saldi.
Saldi melanjutkan, apabila perkara yang dinyatakan dapat diperiksa lebih lanjut maka untuk tingkat provinsi masing-masing pihak dapat mengajukan saksi/ahli maksimal 6 orang, sedangkan untuk tingkat kabupaten/kota masing-masing pihak dapat mengajukan saksi/ahli maksimal 4 orang. Sementara untuk perkara yang dinyatakan tidak dapat diperiksa lebih lanjut akan diucapkan dalam sidang pengucapan putusan dismissal pada Rabu, 10 September 2025
Sebagai informasi, Pemohon yaitu Paslon Nomor Urut 1 Benhur Tomi Mano-Constant Karma mendalilkan selisih suaranya sebesar 0,8 persen atau 4.134 suara dengan Pihak Terkait yakni Paslon Nomor Urut 2 Matius Fakhiri-Aryoko Alberto Ferdinand Rumaropen karena adanya partisipasi pemilih di atas 100 persen melebihi DPT yang tersebar di 62 TPS. KPU Provinsi Papua telah menetapkan hasil penghitungan suara pasca PSU yaitu Paslon Nomor Urut 1 memperoleh 255.683 suara dan Paslon Nomor Urut 2 meraih 259.817 suara. Selisih sebesar 4.134 suara atau 0,8 persen tersebut di bawah ambang batas untuk mengajukan permohonan PHPU Gubernur Papua ke MK yakni 10.310 suara atau 2 persen dari jumlah total suara sah.
Sementara Pemohon mengeklaim seharusnya mendapatkan 246.418 suara, unggul tipis dari Paslon Nomor Urut 2 atau Pihak Terkait dalam perkara ini yang semestinya hanya memperoleh 245.528 suara. Penambahan suara kepada Pihak Terkait diduga karena adanya partisipasi pemilih di atas 100 persen pada 62 TPS yaitu terdiri dari 2 TPS di Kabupaten Jayapura; 7 TPS di Kabupaten Kepulauan Yapen; 2 TPS di Kabupaten Biak; 3 TPS di Kabupaten Sarmi; 2 TPS di Kabupaten Supiori; 25 TPS di Kabupaten Keerom: 1 TPS di Kabupaten Waropen; dan 20 TPS di Kota Jayapura.
Pemohon mengatakan adanya partisipasi pemilih diatas 100 persen melanggar Putusan MK Nomor 304/PHPU.GUB-XXIII/2025 karena dalam pertimbangan hukum dan amar putusan menyatakan DPT yang digunakan dalam PSU adalah DPT yang digunakan juga dalam pemungutan suara serentak pada 27 November 2024. Sebab itu tidak dibenarkan untuk menambah pemilih pada tiap-tiap TPS pada saat pelaksanaan PSU yang diselenggarakan pada 6 Agustus 2025.
Pemohon mengaku sudah menyampaikan keberatan secara berjenjang pada rapat pleno rekapitulasi di tingkat Distrik, Kabupaten, dan Provinsi. Kemudian telah ada saran perbaikan dari Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Provinsi Papua pada saat rapat pleno rekapitulasi penghitungan suara di tingkat Provinsi untuk setiap Kabupaten dan Kota, tetapi Termohon mengabaikan keberatan dari Pemohon dan tidak mengindahkan saran perbaikan dari Bawaslu Provinsi tersebut.
Selain itu, Pemohon juga mendalilkan ketidaknetralan Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral Bahlil Lahadia sekaligus Ketua Umum DPP Partai Golkar karena terlalu sering melakukan kunjungan kerja ke Papua yang diduga untuk memenangkan Pihak Terkait. Pemohon menyebut Penjabat (Pj) Papua Agus Fatoni melakukan kegiatan intervensi politik yang diduga untuk memberikan dukungan secara tidak langsung kepada Pihak Terkait di Yayasan Hikmah Al Bunayyah di Distrik Heram Kota Jayapura.
(rls/ret)