18.8 C
New York
Minggu, Oktober 19, 2025

Buy now

Linda Winata Perancang Salib Nusantara di Busana Liturgis Paus

“Perayaan Persaudaraan dalam Keberagaman di Busana Liturgis Paus Fransiskus, Busana Liturgis menjadi buah kreativitas orang Indonesia. Desainnya erat dengan kekayaan budaya bangsa”

Busana Paus, pemimpin tertinggi Gereja Katolik, bukan sekadar pakaian biasa. Ia merupakan simbol kekuasaan, tradisi, dan spiritualitas yang telah berkembang selama berabad-abad. Setiap detail dari busana Paus memiliki makna dan sejarah yang mendalam, mencerminkan evolusi Gereja Katolik dan peran Paus di dalamnya.

Busana liturgis yang akan dikenakan Paus Fransiskus dalam kunjungannya ke Indonesia adalah buah kreativitas anak bangsa dari Kota Bandung, Jawa Barat. Kerja keras orang-orang di balik layarnya bakal ikut menjadi persembahan indah bagi toleransi dan perdamaian dunia.

Jrek…Jrek…Jrek, Bunyi mesin jahit terdengar nyaring dari tempat produksi di Jalan Sumber Mekar Nomor IV, Kelurahan Babakan Ciparay, Kota Bandung, Jawa Barat, Selasa (20/8/2024). Lindawati Winata (73) menggunakannya sebagai tempat menjalankan usaha jahitnya.

Seperti biasanya, Linda, panggilan akrabnya, tidak pernah absen bekerja. Minatnya pada dunia jahit mengalahkan usia yang tidak muda lagi.

Siang itu, tiga hari setelah Indonesia merdeka, dia telaten membantu salah seorang pegawalnya, Resa Irmawati (28), menyetrika jubah kasula warna putih tulang.

Kasula adalah jubah yang biasanya digunakan pemimpin gereja Katolik untuk memimpin perayaan ekaristi. Kasula digunakan seluruh pemimpin gereja.

Meski sebelumnya sudah terbiasa menyetrika kasula, jubah kali ini terasa istimewa bagi Linda dan Resa. Kasula itu nantinya bakal dikenakan para kardinal dan uskup dalam acara ibadah yang dipimpin Paus Fransiskus di Gelora Bung Karno, Jakarta, pada Kamis (5/9/2024).

”Saya berharap pekerjaan ini berjalan lancar dan tuntas secepatnya. Saya ikut bahagia karena busana ini akan digunakan para tokoh agama untuk ibadah yang dipimpin Paus Fransiskus dalam waktu dekat,” ucap Resa, perempuan berhijab asal Garut ini.

Perasaan bahagia itu memang sangat dibutuhkan Resa untuk menyelesaikan busana liturgis itu. Hanya punya waktu lebih kurang dua bulan, produksi busananya tidak hanya hitungan jari.

Dia dan kawan-kawannya memproduksi 80 kasula untuk kardinal dan uskup, 2.000 kasula untuk pastor dan 6 jubah liturgis untuk diakon atau disebut dalmatik. Total ada 10.000 meter kain yang digunakan untuk itu. Namun, khusus untuk busana yang akan dikenakan Paus, pembuatannya dilakukan langsung oleh pihak Vatikan.

Kesibukan hari itu tidak hanya milik Resa dan Linda. Ada dua pekerja lain di ruangan yang berbeda. Keduanya adalah Nana Rukmana (62) dan Tisna Sutisna (42).

Tangan dan kaki Nana menjahit kerah kasula. Sementara Tisna membuat hingga menyetrika seluruh stola atau selempang kain yang dibordir. Stola nantinya akan digunakan bersama kasula saat misa ekaristi berlangsung.

Seperti Resa, Nana dan Tisna juga bekerja dengan bangga. ”Meskipun seorang Muslim, saya senang bisa menyumbangkan keahlian saya untuk menyambut Paus Fransiskus di Indonesia,” ucap Nana, warga Soreang, Kabupaten Bandung, yang sudah bersama Linda sejak 25 tahun terakhir.

Linda mengatakan, bersyukur tempat usahanya menjadi rumah bagi orang-orang penuh talenta. Tanpa melihat perbedaan latar belakang, kreativitas yang dihasilkan selama puluhan tahun terbukti bisa terus dinikmati banyak orang.

Tidak hanya warga biasa, tetapi juga banyak orang penting, seperti Paus Fransiskus dan pemimpin umat Katolik dunia lainnya. ”Saat ini, ada tujuh pekerja yang membantu saya. Perbedaan keyakinan, tidak menghalangi kami untuk menghasilkan karya terbaik,” ungkap Linda.

Jika dicermati, keterlibatan Linda dan rekan kerjanya membuat busana liturgis kunjungan Paus terasa tepat. Persaudaraan, persahabatan, dan karya-karya kreatif yang mereka lakukan senapas dengan pesan dalam Ensiklik Fratelli Tutti.

Ensiklik yang berarti semua bersaudara itu dikeluarkan Paus Fransiskus di Asisi, Italia, tahun 2020. Berjarak ribuan kilometer dari Italia, penerapannya benar-benar nyata terlihat di Kota Bandung.

Salib Nusantara

Akan tetapi, pengejawantahan Ensiklik Fratelli Tutti tidak hanya itu. Linda dan kawan-kawannya tidak bekerja sendiri. Semua proses desain dan produksi di bawah koordinasi Sang Kris Bandung. SangKris Bandung adalah sebuah wadah khusus memproduksi busana liturgis Katolik.

Prosesnya dimulai sekitar bulan Juni 2024. Mereka berbagi tugas. Selain Linda, ada Lienawati Dadi yang bertugas mengerjakan bordiran pada kasula, stola, dan dalmatik. Ada Sandra Hariadi yang mendesain busana dan detail motifnya. Kerja-kerja kreatif itu dikoordinasikan Direktur SangKris Bandung Pastor CH Suryanugraha, OSC.

Suryanugraha (59) mengatakan, proses kreatif untuk Paus Fransiskus ini dimulai saat dia mendapat pesan Whatsapp pada 13 Mei 2024 jelang tengah malam. Saat itu, Suryanugraha hendak bersiap terlelap di Biara Santo Agustinus Bandung.

Pengirimnya adalah Sekretaris Eksekutif Komisi Liturgi di Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Pastor Riston P Situmorang OSC yang berada di Jakarta. Kebetulan, Riston menjadi penanggung jawab liturgi kunjungan Paus Fransiskus.

Suryanugraha menuturkan, Riston menyampaikan pesan dari Nunsius atau Duta Besar Vatikan untuk Indonesia, Mgr Piero Pioppo, dan Ketua KWI Mgr Antonius Subianto Bunjamin OSC.

Pesannya, SangKris Bandung diminta menyiapkan desain dan busana liturgis yang akan dikenakan Paus Fransiskus, para kardinal, uskup, imam, dan diakon di Indonesia pada September 2024.

”Pesan dari Nunsius dan Ketua KWI agar desainnya tidak terlihat mewah. Pastor Riston juga meminta desain busana liturgis sudah tuntas pada tanggal 28 Mei 2024,” tutur Suryanugraha.

Meski singkat, kesempatan itu tidak ditolak. Suryanugraha menerima dengan bahagia penugasan mulia itu. Semua perjalanan Paus adalah peristiwa penting, apalagi tahun ini, beliau bakal mendatangi Indonesia.

Tidak menunggu lama, Suryanugraha segera menghubungi Sandra Hariadi, desainer lulusan Seni Murni Institut Teknologi Bandung, Linda, dan Lienawati. Semua antusias dan sepakat menyelesaikan desain busana liturgis secepatnya.

Setelah berdiskusi, judul yang dipilih dalam pembuatan karya besar ini adalah Salib Nusantara. Inti desainnya menggabungkan model salib yang dikenal dalam gereja Katolik dengan kekayaan budaya Indonesia.

Desain salib yang diambil adalah model sama lengan dari pola moline atau jangkar. Salib ini punya delapan sudut atau ujung melengkung.

Desain itu dibuat berdasarkan prinsip indah bersahaja. Hal ini artikulasi dari semangat estetis pembaruan liturgis, yaitu ’nobili simplicitate’ atau ’noble simplicity’ yang kurang lebih artinya kesederhanaan nan luhur.

Salib model ini sering menjadi bagian dari identitas Ordo Templar. Namun, salib ini lebih akrab untuk Santo Benediktus dari Nursia dan para Benediktin, pengikutnya.

Untuk unsur Nusantara-nya, mereka memasukan motif berbagai daerah di bagian batang. Ada motif Dayak di Kalimantan, perwakilan di utara Indonesia, Sumba di Nusa Tenggara Timur sebagai daerah di selatan, Asmat di Papua untuk ujung timur, serta Batak di Sumatera Utara untuk bagian barat.

”Kami pernah membuat busana liturgis untuk pemimpin gereja d daerah-daerah itu. Dengan menambahkan modifikasi, polanya diterapkan untuk kedatangan Paus,” katanya.

Kesederhanaan

Untuk melengkapinya, dimasukan juga ornamen empat sayap Garuda atau Gurda yang terinspirasi dari batik Jawa. Ornamen itu ditempatkan mengisi ruang di antara lengan salib besar (kuadran) dan ornamen floral (tenun Bali) untuk salib kecil di tengah.

Benang-benang sulam berwarna emas tampak dominan, disertai perpaduan warna perak, coklat, kuning, merah, dan putih untuk menampilkan kemuliaan Salib Kristus dalam nuansa sederhana ala Nusantara.

”Desain itu dibuat berdasarkan prinsip indah bersahaja. Hal ini artikulasi dari semangat estetis pembaruan liturgis, yaitu nobili simplicitate atau noble simplicity yang artinya kurang lebih kesederhanaan nan luhur,” ucap Suryanugraha.

Selain itu, Suryanugraha memaparkan, pola Salib Nusantara juga diterapkan untuk mitra atau penutup kepala Paus dan para uskup. Untuk mitra Paus ditampilkan Salib Nusantara dalam rancangan desain yang utuh, sementara untuk para uskup dikurangi unsur sayapnya.

Salib Nusantara versi utuh terlihat lagi pada pluviale (mantel) Paus dan semua kasula kardinal atau uskup dan imam dengan beberapa modifikasi untuk pembedaan perannya. Pada pluviale Paus dan kasula kardinal atau uskup juga ditambahkan sedikit motif lain menghiasi bagian depan dan belakang.

Selain itu, pluviale Paus dan semua kasula uskup dibordir menggunakan mesin dan manual. Sementara gambar Salib Nusantara untuk kasula para pastor atau imam konselebran dicetak pada kainnya.

Penggunaan pluviale bukan tanpa alasan. Kondisi kesehatan Paus Fransiskus yang belakangan tidak fit membuatnya kemungkinan tidak akan menggunakan kasula, tapi pluviale.

Biasanya beliau memulai dari perarakan masuk hingga persiapan persembahan. Selanjutnya, misa dipimpin kardinal atau uskup lain yang sudah ditunjuk sebagai selebran. Ritus Penutup kembali dipimpin Paus.

”Karena keadaan yang harus berbagi tugas itulah, maka Paus diperkenankan tidak mengenakan kasula, melainkan pluviale. Perihal ini diatur dalam buku Caeremoniale Episcoporum Nomor 176 ketika seorang uskup dapat memimpin misa, tetapi tidak sebagai selebran (Bab 3),” kata Suryanugraha.

Pada akhirnya, kedatangan Paus Fransiskus tidak hanya dimaknai sebagai perayaan misa akbar biasa. Semua selaras dengan tema kunjungannya ke Indonesia, iman, persaudaraan, dan kasih, yang melintasi seluruh perbedaan di negeri ini.

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan
- Advertisement -spot_img

Latest Articles

error: Content is protected !!