Jakarta – Anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, menilai wacana yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto terkait pemilihan kepala daerah dipilih DPRD akan membuat rakyat menjadi tersandera. Rakyat bisa kehilangan posisi tawar sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam sistem demokrasi di Indonesia.
“Hal tersebut bisa semakin buruk apabila pemilihan benar-benar sepenuhnya dilakukan tidak langsung melalui wakil-wakil partai di DPRD. Kedaulatan rakyat makin tersandera dan masyarakat makin tidak punya posisi tawar sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam bernegara,” kata Titi dalam keterangannya, pada Minggu (15/12/2024).
Titi mewanti soal adanya jual beli dukungan di tingkat partai politik dalam penentuan kepala daerah. Ia menilai pemberlakukan aturan itu tak menjamin praktik money politics di Indonesia akan terhapuskan.
“Semua pihak tidak boleh lupa bahwa perubahan sistem pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah dari pemilihan oleh DPRD menjadi pemilihan langsung melalui UU Nomor 32 Tahun 2004 dilatarbelakangi oleh praktik politik uang yang tinggi di mana terjadi jual beli dukungan atau jual beli kursi dan suara dari para anggota DPRD demi keterpilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh para anggota DPRD (candidacy buying),” tegasnya.
Akar Masalah Bukan di ‘Langsung atau Tidak Langsung.
“Apabila pemilihan dikembalikan ke DPRD mungkin saja biayanya menjadi lebih murah, tapi tidak serta-merta menghilangkan praktik politik uang dan juga politik biaya tinggi dalam proses pemilihannya. Karena yang menjadi akar persoalannya, yaitu buruknya penegakan hukum dan demokrasi di internal partai tidak pernah benar-benar dibenahi dan diperbaiki,” tambahnya.
Ia menyebut perubahan sistem politik di Tanah Air tak boleh dilakukan tergesa-gesa tanpa pertimbangan atau kajian yang matang. Titi menyinggung soal keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) jika Pilkada adalah Pemilu yang pemilihannya harus berlangsung secara jujur dan adil.
“Perlu diingat sudah ada putusan Mahkamah Konstitusi No.55/PUU-XXII/2019 yang menyatakan bahwa pembentuk undang-undang jangan acap kali mengubah mekanisme pemilihan langsung yang ada di Indonesia,” ujar Titi.
“Serta yang terakhir ada pula Putusan MK No.85/PUU-XX/2022 di mana Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa Pilkada adalah Pemilu sehingga harus diselenggarakan sesuai dengan asas dan prinsip Pemilu yaitu luber dan jurdil. Serta pelaksanaannya dilakukan oleh penyelenggara pemilu yang juga menyelenggarakan pemilu legislatif dan pemilu presiden, yakni KPU, Bawaslu, dan DKPP,” sambungnya.
Ia berharap pemerintah lebih fokus untuk memperbaiki demokrasi di Indonesia tanpa menimbulkan kebijakan yang kontroversi. Ia menyebut terlalu banyak polemik akan menggangu konsentrasi program pembangunan era Prabowo Subianto.
“Dalam pandangan saya lebih baik pemerintah fokus menata konsolidasi demokrasi di Indonesia tanpa harus banyak membuat narasi yang bisa menimbulkan kontroversi karena mempreteli hak rakyat dalam berdemokrasi. Terlalu banyak kontroversi bisa mengganggu konsentrasi pemerintahan Prabowo dalam melaksanakan program pembangunan dan pemenuhan janji-janji politiknya. Itu sangat kontradiktif,” sebutnya. (Ki/red/ret)