0.7 C
New York
Rabu, Desember 25, 2024

Buy now

Untung Rugi ke Mahkamah Konstitusi

Sejumlah pasangan calon menggugat proses dan hasil Pemilihan Kepala Daerah 2024 ke Mahkamah Konstitusi. Dengan begitu, penetapan kemenangan pasangan yang terpilih di beberapa daerah tersebut tertunda.

Seperti apa sebenarnya motif gugatan itu selain karena dugaan ada faktor kecurangan dalam proses pilkada-mengingat hasil perolehan suara yang digugat dominan memiliki selisih yang jauh? Lantas, bagaimana peluang gugatan itu dikabulkan oleh hakim konstitusi?

Pengamat politik dari Universitas Hasanuddin Rizal Pauzi mengatakan, gugatan ke MK oleh sejumlah calon kepala daerah di Sulsel berdasarkan pengamatan yang ada di lapangan akan sulit dikabulkan.

“Ini perlu dilihat aspek gugatannya dulu bahwa apakah memang yang digugat itu merupakan pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Menurut saya, dari beberapa daerah ini akan agak sulit dikabulkan oleh MK,” kata Rizal dalam keterangan tertulisnya dikutip mataradarindonesia.com

Rizal menjelaskan, dalam beberapa pengalaman pilkada yang mengajukan gugatan ke MK hasilnya kadang ditolak. Mengingat, dugaan pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan masif itu sulit untuk dibuktikan oleh penggugat.

“Mungkin bisa saja disidangkan tetapi itu sulit untuk menang. Menurut saya karena pelanggaran-pelanggaran yang diproses itu, kan, yang punya bukti-bukti administratif,” ujar dia.

Rizal menjelaskan, satu hal yang sulit dibuktikan adalah adanya Surat Keputusan atau SK oleh seorang tim pemenangan yang dinilai melakukan pelanggaran. Misalnya, melakukan money politics atau politik uang. Termasuk, kata dia, membuktikan bahwa yang bersangkutan mendapatkan perintah langsung dari kandidat yang bersangkutan dalam praktek politik uang yang kerap dijadikan sebagai rujukan untuk menggugat ke MK.

“Misalnya betul tidak ada SK tim, ada perintah langsung untuk membagikan uang dan seterusnya. Nah, itu sulit untuk dibuktikan,” ungkap Rizal.

“Jadi memang agak sulit pembuktiannya. Dan saya pikir juga tantangannya adalah konsultan-konsultan tim sudah belajar, yang membagi uang itu harus yang di SK-kan, sementara biasanya terjadi bukan yang di SK-kan yang membagikan uang. Jadi di situ celahnya,” ujar dia.

Terlebih, kata Rizal, untuk hasil pilkada di Sulsel ini terdapat banyak selisih perolehan suara. Sementara dalam aturan telah disebutkan bahwa proses selisih yang memungkinkan digugat ke MK adalah selisih dua hingga tiga persen saja. Sementara dari hasil perolehan suara Pilkada Serentak 2024 di Sulsel, hanya Kabupaten Jeneponto dan Kota Palopo yang relatif tipis.

“Jadi itu minimalnya alat bukti dan sulitnya pembuktian TSM. Makanya itu kenapa kemudian MK memutuskan dua sampai tiga persen selisih untuk digugat karena tidak ada juga gunanya kalau nanti rekomendasinya misalnya PSU kan tidak cukup juga kalau misalnya di PSU kan hanya di beberapa tempat. Jadi agak berat, apalagi di Sulsel itukan yang mungkin ada peluang yang selisihnya tipis, kayak Jeneponto, Palopo, tapi itu lagi butuh pembuktian,” beber dia.

Untuk itu, kata Rizal, gugatan hasil Pilkada ke MK sangat kecil peluangnya untuk dikabulkan, sebab untuk membuktikan TSM tersebut sangat sulit. Masalah tersebut juga dianggap selama ini yang menjadi kendala oleh pengawas pemilu dalam hal ini Bawaslu untuk memutuskan suatu sengketa Pilkada di wilayah karena minimnya alat bukti.

Belum lagi, di Gakkumdu sendiri terdapat tiga lembaga yakni Kepolisian, Kejaksaan, dan Bawaslu sendiri yang kadang berbeda pendapat dalam melihat suatu kasus yang dilaporkan.

“Jadi TSM itukan pada dasarnya harus jelas instrumennya dan itu sulit pembuktiannya. Kenapa karena pidana pemilu kita ditentukan oleh Gakkumdu, sementara Gakkumdu itukan ada kejaksaan, kepolisian, dan Bawaslu sendiri dan biasanya mereka beda perspektif di situ. Kalau dia tidak sesuai dianggap tidak ini memenuhi syarat,” ujar dia.

“Makanya saya mengatakan bahwa pola penanganan Bawaslu itu masih konvensional bukan rana substansial. Jadi menurut saya harus ada penegakan aturan yang kuat nantinya,”ujar dia.

Adapun Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unhas, Profesor Sukri Tamma mengatakan bahwa pengajuan gugatan ke MK merupakan hak konstitusional yang dijamin undang-undang.

“Proses gugatan itu adalah sesuatu yang diatur di dalam undang-undang kepemiluan dan menjadi suatu tahapan yang boleh diambil bagi mereka yang merasa dirugikan atau merasa ada yang keliru dari hasil keputusan yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu,” kata Sukri.

Namun, Sukri menegaskan bahwa pengajuan gugatan tersebut harus disertai bukti yang kuat. Dari sisi proses, kata dia, jika gugatan diterima MK, maka ada konsekuensi berupa keterlambatan pelantikan kepala daerah definitif.

“Tentu dengan memenuhi persyaratan bahwa memang ada bukti yang kuat dan itu nanti bisa dibuktikan. Kalau berproses, diterima gugatannya, tentu daerah-daerah ini akan terlambat untuk dilantik,” jelas Sukri.

Sehingga dalam situasi seperti itu daerah yang terdampak akan kembali dipimpin oleh pejabat sementara (PJ) sampai kepala daerah definitif ditetapkan atau setelah sengketa di MK dinyatakan selesai dan ada hasilnya. “Kalau ini terjadi maka tentu akan ada PJ lagi sampai kemudian dilantik kepala daerah yang ditetapkan,” imbuh dia.

Lebih jauh, Sukri juga memaparkan kemungkinan putusan yang bisa diambil MK. Dalam gugatan yang diajukan ke MK tersebut akan berujung pada beberapa hal jika itu dikabulkan, seperti dilakukannya pemungutan suara ulang (PSU), diskualifikasi, ataupun penghitungan suara ulang di tiap tahapan.

Selain itu, jika ditemukan pelanggaran etik oleh penyelenggara pemilu, maka kasus tersebut bisa berlanjut ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

“Atau barangkali ada catatan, teguran dan seterusnya yang berujung ketika ada pelanggaran etik maka akan berujung ke DKPP bagi para penyelenggara,” ujar dia.

Keputusan MK nantinya juga disebut akan bersifat final dan mengikat sehingga harus diterima oleh semua pihak. Namun, ia juga mengingatkan bahwa tidak semua gugatan akan diproses oleh MK, terlebih jika bukti-bukti yang diajukan sangat minim.

“Jika sudah diputuskan maka tentu akan menjadi keputusan yang harus diterima oleh semua pihak dalam proses pilkada ini,” tutur Sukri.

Untuk itu, ia mengingatkan para pasangan calon yang mengajukan gugatan ke MK untuk mempersiapkan bukti yang cukup agar gugatan mereka diproses.

“Inilah tantangan penggugat untuk betul-betul membuktikan bahwa gugatan mereka itu berdasar dan sesuai dengan konstitusi. Karena pada akhirnya MK nanti yang membuktikan berdasarkan bukti-bukti yang ada,” kata dia.

Sebelumnya, sejumlah calon kepala daerah telah mendaftarkan gugatan ke MK. Salah satunya, pasangan Syamsari Kitta dan H Nojeng (SK-HN) yang menggugat hasil Pilkada Takalar 2024. Langkah ini diambil terkait dugaan pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang melibatkan kolaborasi sejumlah pihak, termasuk lawan mereka pasangan Mohammad Firdaus dan Hengky Yasin.

Ketua tim pemenangan SK-HN, Muhammad Idris Leo mengatakan, prihatin terhadap praktik yang dinilai telah mencederai demokrasi.
“Waktu pilkada, adanya intervensi dan ketidaknetralan yang melibatkan berbagai pihak, termasuk oknum aparatur sipil negara dan aparat pemerintah,” ujar Idris.

Menurut dia, Pilkada Takalar bukan sekadar memilih pemimpin daerah atau seremonial lima tahunan. Ini adalah amanat reformasi yang harus dijalankan sesuai aturan main demokrasi. Dia mengatakan, segala bentuk keberpihakan dan pelanggaran aturan harus ditegur, bahkan diberi sanksi. Ia juga menambahkan bahwa keberpihakan dan pembiaran dalam proses Pilkada berpotensi merusak tatanan demokrasi di Takalar.

“Jika aturan main tidak ditegakkan, maka Takalar berisiko menjadi contoh buruk demokrasi, bahkan terburuk di Sulawesi Selatan atau Indonesia. Dan, seharusnya pihak penyelenggara punya tanggung jawab besar bisa menjaga dengan menjalankan tugas sebaik-baiknya secara profesional,” sambung Idris.

Menurut Idris, pilkada seharusnya menjadi momentum edukasi politik yang dapat diwariskan kepada generasi mendatang, bukan menjadi ajang degradasi nilai-nilai demokrasi. “Tentu, pentingnya penegakan aturan yang konsisten agar kepercayaan masyarakat terhadap sistem demokrasi tetap terjaga,” ujar dia.

Menurut Idris, tim hukum SK-HN tengah mempersiapkan dokumen menghadapi sidang. Gugatan ini diharapkan dapat mengungkap fakta-fakta dugaan pelanggaran TSM dan memastikan keadilan bagi semua pihak yang terlibat. Dia mengatakan, Butta Panrannuangku sebagai daerah dengan sejarah panjang dalam tradisi politik lokal, Takalar diharapkan dapat menjadi teladan dalam pelaksanaan demokrasi yang bersih dan jujur.

“Gugatan ini menjadi ujian penting bagi penegakan demokrasi di daerah tersebut. Masyarakat kini menantikan hasil dari proses hukum di Mahkamah Konstitusi, yang diharapkan dapat membawa keadilan dan memperbaiki sistem Pilkada di Takalar demi masa depan demokrasi yang lebih baik,” imbuh Idris.

Hasil Pilkada Bulukumba juga masuk ke MK. Pasangan Jamaluddin M. Syamsir-Tomy Satria Yulianto menyoal dugaan pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) yang dituduhkan kepada pasangan Andi Muchtar Ali Yusuf dan Edy Manaf, yang dinyatakan sebagai pemenang oleh KPU.

Ketua tim hukum Jamal-Tomy, Kurniadi Nur, mengatakan bahwa materi gugatan mencakup berbagai dugaan pelanggaran, termasuk politik uang, mobilisasi aparatur negara, serta pengarahan ASN melalui mutasi jabatan.

“Kami telah menyusun kronologi lengkap beserta bukti-bukti berupa video, foto, dan dokumen lainnya,” ujar dia.

Bukti ini, kata dia, mencakup dugaan mobilisasi perangkat daerah, video ASN yang berkampanye, hingga politik uang yang terjadi pada hari pemilihan.

Bukti kami lebih lengkap dan terbuka, termasuk video dan foto yang jelas menunjukkan dugaan pelanggaran. Bahkan, ini sudah diketahui secara luas di media sosial,” imbuh Kurniadi.

Kurniadi juga mengungkapkan optimisme timnya bahwa gugatan ini akan dikabulkan oleh MK. Ia merujuk pada putusan MK sebelumnya terkait kasus serupa di Kabupaten Intan Jaya dan Kabupaten Yapen, Papua, pada 2017 lalu.

“Kami yakin peluang gugatan ini besar untuk diterima. Bukti kami lebih lengkap dan terbuka, termasuk video dan foto yang jelas menunjukkan dugaan pelanggaran,” ucap dia.

Dalam gugatannya, tim hukum Jamal-Tomy berharap majelis hakim MK dapat memberikan putusan yang adil berdasarkan fakta yang telah diajukan. Menurut Kurniadi, sebagian besar bukti yang mereka miliki sulit dibantah oleh pihak termohon, yakni KPU.

“Kami percaya 80 persen dari bukti yang kami ajukan akan sulit disanggah. Bukti ini nyata, terekam, dan dapat diakses oleh publik secara nasional,” tutur Kurniadi.

Meski jadwal sidang belum ditetapkan, tim hukum Jamal-Tomy menyatakan telah mempersiapkan segala dokumen dan bukti pendukung untuk disampaikan dalam sidang mendatang.

“Tim hukum kami menunggu proses lebih lanjut di MK, sembari berharap agar upaya hukum ini dapat mengungkap kebenaran dan memastikan integritas demokrasi di Kabupaten Bulukumba tetap terjaga,” imbuh dia.

Di Pilkada Pinrang, pasangan Ahmad Jaya Baramuli-Abdillah Natsir juga melayangkan gugatan ke MK. Master Campaign Jaya-Abdillah, Jamaluddin mengatakan pihaknya mengajukan permohonan ke MK dengan dalil dugaan pelanggaran terstruktur, sistematis dan masif atau TSM yang dilakukan peraih suara terbanyak Pilkada Pinrang 2024, Andi Irwan Hamid-Sudirman Bungi.

“Secara umum kami ajukan permohonan proses Pilkada Pinrang yang diduga terjadi pelanggaran terstruktur, sistematis dan masif. Karena pelanggaran itu, kita minta untuk diskualifikasi paslon,” ujar Jamaluddin.

Merujuk surat keputusan KPU Pinrang nomor 1198 tahun 2024, paslon Jaua-Abdillah meraih 89.753 suara, kemudian Irwan-Sudirman meraup 102.723 dan Usman Marham-Andi Hastri T Wello membukukan 24.588 suara. Tutup

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan
- Advertisement -spot_img

Latest Articles

error: Content is protected !!