-1 C
New York
Minggu, Januari 5, 2025

Buy now

Golkar Kaget MK Cabut Presidential Threshold, Ini Ketentuannya

Sekjen Partai Golkar Sarmuji mengaku dirinya terkejut dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan uji materi terhadap pasal 222 UU No.7/2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) berkaitan dengan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold).

Pasalnya, Sarmuji terkejut lantaran dia mengungkapkan bahwa sebelumnya MK selalu menolak dalam 27 kesempatan sebelumnya.

Lebih lanjut, dia turut mengungkit bawa MK dan pembuat Undang-Undang (UU) selalu memiliki cara pandang yang sama.

“Dalam 27 kali putusannya cara pandang MK dan pembuat UU selalu sama, yaitu maksud diterapkannya presidensial treshold itu untuk mendukung sistem presidensial bisa berjalan secara efektif,” pungkasnya.

Dalam amar putusan yang dibacakan pada perkara No.62/PUU-XXII/2024, MK menyatakan ambang batas pencalonan presiden yang saat ini berlaku 20% inkonstitusional. Artinya, pencalonan presiden oleh partai politik tidak harus memiliki suara 20% di DPR.

“Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pembacaan putusan, Kamis (2/1/2025).

MK juga menyatakan dalam putusannya bahwa pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan Undang-undang Dasar (UUD) 1945 alias inkonstitusional.

MAHKAMAH Konstitusi (MK) memutuskan bahwa syarat ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20% yang tercantum dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu, inkonstitusional.

Putusan ini menilai ketentuan tersebut bertentangan dengan hak politik rakyat, kedaulatan rakyat, serta prinsip moralitas dan keadilan, yang bertentangan dengan UUD 1945.

Pasal 222 mengatur bahwa calon presiden dan wakil presiden hanya dapat maju jika diusung oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memiliki minimal 20% kursi di DPR atau memperoleh 25% suara sah nasional pada pemilu sebelumnya.

Alasan inilah yang menjadi dasar bagi Mahkamah untuk bergeser dari pendirian dalam putusan-putusan sebelumnya terkait uji materi ambang batas pencalonan presiden.

“Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) berapapun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945,” ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra saat membacakan pertimbangan hukum Perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 seperti dikutip laman resmi Mahkamah Konstitusi, Kamis (2/1).

Berikut sejumlah pertimbangan Mahkamah Konstitusi menghapus ketentuan syarat ambang batas pencalonan presiden 20%

1. Terbatasnya Hak Konstitusional Pemilih

Mahkamah menilai bahwa ambang batas pencalonan presiden yang ada selama ini menyebabkan terbatasnya pilihan bagi pemilih. Hal ini berpotensi mengurangi alternatif pasangan calon presiden dan wakil presiden yang dapat dipilih masyarakat.

Selain itu, Mahkamah juga menilai bahwa dengan terus mempertahankan ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden  dan setelah mempelajari secara saksama arah pergerakan politik di Indonesia, kecenderungan untuk selalu mengupayakan agar setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya terdapat dua pasangan calon.

2. Masyarakat Terbelah

Sejarah pemilu presiden di Indonesia menunjukkan kecenderungan hanya muncul dua pasangan calon, yang berpotensi menyebabkan polarisasi di masyarakat. Mahkamah khawatir jika hal ini terus berlanjut, bisa muncul calon tunggal yang mengancam kebhinekaan Indonesia.

Bahkan jika pengaturan tersebut terus dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan pemilu presiden dan wakil presiden akan terjebak dengan calon tunggal. Kecenderungan demikian, paling tidak dapat dilihat dalam fenomena pemilihan kepala daerah yang dari waktu ke waktu semakin bergerak ke arah munculnya calon tunggal atau pemilihan dengan kotak kosong.

3. Antisipasi Potensi Kandidat yang Terlalu Banyak

MK juga mempertimbangkan potensi munculnya banyak pasangan calon presiden, yang bisa merusak kualitas pemilu langsung. Namun, Mahkamah tetap membuka ruang bagi rekayasa konstitusional untuk mengatur jumlah pasangan calon agar tidak terlalu banyak, tanpa mengurangi hak konstitusional partai politik.

Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Pemilu Presiden

Keputusan ini membuka peluang bagi semua partai politik peserta pemilu untuk mengusulkan pasangan calon presiden tanpa dibatasi oleh persentase kursi di DPR atau suara sah. Mahkamah juga memberikan pedoman agar tidak muncul pasangan calon yang terlalu banyak, yang bisa merusak kualitas demokrasi presidensial.

Rekomendasi Pedoman dari Mahkamah Konstitusi

Dalam Putusan ini, Mahkamah juga memberikan pedoman bagi pembentuk undang-undang untuk melakukan rekayasa konstitusional agar tidak muncul pasangan calon presiden dan wakil presiden dengan jumlah yang terlalu banyak dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

  1. Semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
  2. Pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.
  3. Dalam mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan partai politik peserta pemilu tersebut tidak menyebabkan dominasi partai politik atau gabungan partai politik sehingga menyebabkan terbatasnya pasangan calon presiden dan wakil presiden serta terbatasnya pilihan pemilih.
  4. Partai politik peserta pemilu yang tidak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya.
  5. Perumusan rekayasa konstitusional dimaksud termasuk perubahan UU Pemilu melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian terhadap penyelenggaran pemilu termasuk partai politik yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna

Anwar Usman dan Daniel Yusmic Menolak

Ketua MK Suhartoyo mengatakan ada dua hakim yang berpendapat berbeda atau dissenting opinion terkait putusan tersebut.

“Terhadap putusan mahkamah a quo terdapat dua hakim yang berpendapat berbeda, yaitu Anwar Usman dan Daniel Yusmic P. Foekh. Bahwa dissenting dimaksud dianggap diucapkan.

Namun pada pokoknya, dua hakim tersebut berpendapat para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum atau legal standing sehingga mahkamah seharusnya tidak melanjutkan pemeriksaan pada pokok permohonan,” ujarnya, Kamis (2/1/2025).

Dalam amar putusan yang dibacakan pada perkara No.62/PUU-XXII/2024, MK menyatakan ambang batas pencalonan presiden yang saat ini berlaku 20% inkonstitusional. Artinya, pencalonan presiden oleh partai politik tidak harus memiliki suara 20% di DPR.

“Mengabulkan permohonan Pemohon untuk seluruhnya,” ujar Ketua MK Suhartoyo dalam sidang pembacaan putusan, Kamis (2/1/2025).

MK juga menyatakan dalam putusannya bahwa pasal 222 UU Pemilu bertentangan dengan Undang-undang Dasar (UUD) 1945 alias inkonstitusional.

“Dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” lanjut Suhartoyo.

Pemohon dari perkara No.62/PUU-XXII/2024 adalah Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq dan Tsalis Khoirul Fatna.

Sebagaima diketahui, norma yang diujikan adalah Pasal 222 UU Pemilu yang menyatakan “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.”

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan
- Advertisement -spot_img

Latest Articles

error: Content is protected !!