Jakarta – Presiden Republik Indonesia ke-2, Jenderal Besar H.M. Soeharto, kembali menjadi sorotan publik setelah munculnya dorongan agar beliau dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Dukungan kuat datang dari berbagai kalangan, terutama dari Partai Golkar, partai yang menjadi pilar utama pemerintahan di masa kepemimpinannya dan memiliki hubungan historis yang tidak terpisahkan dari sosok Soeharto.
Dorongan ini tidak hanya lahir dari romantisme sejarah, tetapi juga dari rekam jejak konkret yang menunjukkan kontribusi besar Soeharto dalam menjaga keutuhan bangsa, menegakkan ideologi Pancasila, serta membangun pondasi ekonomi nasional.

Jejak Konkrit Sang Bapak Pembangunan
Soeharto dikenal sebagai sosok yang mengubah arah sejarah Indonesia pasca-Orde Lama. Ia muncul sebagai figur militer yang mampu menstabilkan negara di tengah kekacauan politik dan ekonomi pada pertengahan 1960-an.
Melalui Supersemar yang kemudian dikukuhkan dalam TAP MPRS No. XXV Tahun 1966, Soeharto mengambil langkah tegas dengan membubarkan PKI dan seluruh organisasi turunannya. Langkah ini menjadi titik balik bagi upaya mengamankan ideologi bangsa dari pengaruh komunisme.

Tak berhenti di situ, Soeharto meneguhkan Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Komitmen ideologis ini menjadi fondasi utama pembangunan nasional selama tiga dekade pemerintahannya.
Dalam bidang ekonomi, Soeharto dikenal sebagai arsitek stabilitas nasional. Di bawah kepemimpinannya, rupiah dijaga agar tetap stabil, cadangan devisa negara meningkat, dan Indonesia mencapai swasembada pangan pada 1983 sebuah capaian monumental yang diakui dunia.
Program seperti pencetakan sejuta hektare sawah di Kalimantan, pemberian kredit lunak bagi petani dan nelayan melalui skema Inmas/Binmas, hingga pembangunan waduk di berbagai daerah menjadi bukti konkret keberpihakannya kepada rakyat kecil.
Sementara itu, di bidang pertahanan, Soeharto menyatukan TNI AD, AL, AU, dan Kepolisian dalam satu kesatuan komando ABRI yang dipimpin oleh seorang panglima di bawah presiden sebagai panglima tertinggi.
Capaian lain yang tak kalah penting adalah meningkatnya wibawa Indonesia di kancah internasional. Di bawah kepemimpinan Soeharto, Indonesia berhasil memantapkan posisi strategisnya di kawasan Asia Tenggara, hingga dipercaya menjadi tuan rumah kantor pusat ASEAN pertama. Semua itu membuat dunia mengenalnya sebagai “The Father of Development”, Bapak Pembangunan Indonesia.
Soeharto dan Golkar: Hubungan Historis yang Tak Terpisahkan
Hubungan antara Soeharto dan Partai Golkar bukan hanya simbolik, tetapi terjalin erat sejak awal kekuasaan Orde Baru. Dikutip dari publikasi Perkembangan Organisasi Golongan Karya: Suatu Kajian Historis Tahun 1964–1999 yang terbit di repository.upi.edu, Soeharto mulai terlibat langsung dalam tubuh Partai Golkar setelah kemenangan partai tersebut pada Pemilu 1971. Sejak saat itu, ia menjabat sebagai Ketua Dewan Pembina Golkar, posisi strategis yang menjadikannya figur paling berpengaruh dan berkuasa dalam arah kebijakan partai.
Peran Soeharto sebagai Ketua Dewan Pembina tidak bisa dilepaskan dari kejayaan Golkar selama hampir tiga dekade Orde Baru. Kemenangan Golkar dalam setiap pemilu dari 1971 hingga 1997 mencerminkan kuatnya pengaruh Soeharto dalam mengonsolidasikan kekuatan politik nasional. Kekuatan tersebut didukung oleh tiga pilar utama: militer, birokrasi, dan struktur Golkar itu sendiri, yang bergerak serentak di bawah arahannya.
Meskipun Soeharto tidak pernah menjabat sebagai Ketua Umum, kewenangan Dewan Pembina yang dipimpinnya bersifat mutlak dan sentralistik. Berdasarkan publikasi Konstelasi Golkar dan Elite Politik Pasca Pemerintahan Orba di repository.upi.edu, pola kepemimpinan Golkar kala itu berpusat penuh kepada Dewan Pembina. Ketua Umum hanya bertindak sebagai pelaksana keputusan yang telah diambil oleh Ketua Dewan Pembina, yakni Presiden Soeharto.
Dengan demikian, meski Soeharto tidak secara formal menjadi Ketua Umum Partai Golkar, ia tetap menjadi figur yang mengendalikan arah kebijakan, strategi politik, dan langkah organisasi secara keseluruhan. Hubungan historis inilah yang membuat Golkar hari ini menjadi partai yang paling lantang memperjuangkan agar jasa besar Soeharto mendapat pengakuan resmi dari negara.
Dukungan Para Tokoh dan Proses Penganugerahan Gelar
Dorongan agar Soeharto dianugerahi gelar Pahlawan Nasional kini disuarakan secara terbuka oleh sejumlah tokoh Partai Golkar. Politisi senior Firman Soebagyo menegaskan, “Tanpa Pak Harto, tanpa Orde Baru yang 32 tahun berkuasa, tidak akan Indonesia seperti ini. Semangat perjuangan, disiplin, dan ketegasan beliau membangun kemandirian bangsa sungguh luar biasa. Bahkan ketika Bank Dunia menolak pembangunan pabrik pupuk, beliau menantang dan membuktikan bahwa Indonesia bisa berdiri di atas kaki sendiri.”
Sementara itu, Ahmad Doli Kurnia, Wakil Ketua Umum DPP Partai Golkar, mengingatkan bahwa kepemimpinan Soeharto sudah tampak jauh sebelum masa Orde Baru. “Success story Pak Harto dalam memimpin Serangan Umum 1 Maret 1949 menjadi bukti kepemimpinan visioner beliau. Serangan ini menunjukkan kepada dunia bahwa TNI masih eksis dan bangsa Indonesia belum menyerah pada penjajahan,” ujarnya.

Adies Kadir, Ketua Umum DPP Ormas MKGR, juga menyatakan bahwa “Partai Golkar sejak dulu menginginkan agar Jenderal Besar Soeharto dijadikan Pahlawan Nasional. Kami berharap pemerintah segera memberikan gelar tersebut sebagai bentuk penghormatan atas jasanya.”
Sedangkan Nurul Arifin, Ketua Bidang Media dan Penggalangan Opini DPP Golkar, menilai Soeharto sebagai simbol stabilitas nasional. “Kami dari Partai Golkar mendukung penuh penganugerahan gelar kepahlawanan untuk Pak Harto. Beliau berjasa besar menjaga stabilitas nasional dan meletakkan dasar pembangunan ekonomi yang membawa Indonesia ke era kemajuan,” tegasnya.
Selain tokoh-tokoh tersebut, Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar, M. Sarmuji juga turut menyampaikan dukungan terhadap gelar pahlawan nasional bagi Pak Harto. Dalam konteks tersebut, ia menyoroti terkait pro-kontra pemberian gelar pahlawan nasional terhadap Pak Harto. Menurut Sarmuji, pro-kontra adalah sebuah keniscayaan. Setiap figur tentu bak dua sisi mata uang yang memiliki perbedaan.
“Perdebatan soal pemberian gelar pahlawan kepada Pak Harto tentu wajar. Setiap tokoh besar pasti memiliki sisi yang menuai pro dan kontra. Namun, perbedaan pandangan itu tidak bisa menghapus kenyataan bahwa Pak Harto memiliki jasa besar bagi bangsa ini,” Sarmuji, Sekretaris Jenderal DPP Partai Golkar
Proses Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional
Dorongan tersebut kini memasuki tahap resmi. Menteri Sosial Saifullah Yusuf (Gus Ipul) telah menyerahkan berkas usulan 40 nama tokoh kepada Menteri Kebudayaan sekaligus Ketua Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Kehormatan (GTK), Fadli Zon, pada Selasa (21/10/2025).
“Usulan ini mencakup nama-nama tokoh yang telah dibahas selama beberapa tahun terakhir. Ada yang memenuhi syarat sejak lima atau enam tahun lalu, dan ada pula yang baru diputuskan tahun ini,” ujar Gus Ipul.
Selain Soeharto, beberapa nama lain yang masuk dalam daftar adalah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), aktivis buruh Marsinah, ulama besar Syaikhona Muhammad Kholil, KH Bisri Syansuri, KH Muhammad Yusuf Hasyim, serta dua jenderal purnawirawan, M. Jusuf dan Ali Sadikin.
Ketua Dewan GTK, Fadli Zon, menjelaskan bahwa timnya akan segera melakukan sidang pleno untuk membahas seluruh nama yang diajukan. “Rencananya besok kami akan bersidang bersama Tim Dewan Gelar. Setelah itu, hasilnya akan kami sampaikan kepada Presiden Republik Indonesia,” ujarnya.

Jika usulan ini disetujui, maka Soeharto akan bergabung dengan deretan tokoh besar yang telah mendapat gelar Pahlawan Nasional, sebuah pengakuan atas jasa luar biasa dalam menjaga, membangun, dan memajukan bangsa Indonesia.
Bagi Partai Golkar, perjuangan ini bukan semata urusan politik, tetapi juga tanggung jawab moral untuk menegaskan bahwa perjalanan bangsa ini pernah ditopang oleh kepemimpinan yang kuat, disiplin, dan visioner.
Dan bagi rakyat Indonesia, penghargaan ini menjadi momen reflektif untuk menilai kembali perjalanan sejarah bangsa, sekaligus menghargai mereka yang telah mengukir fondasi kemajuan nasional.
Sebelumnya, Proses panjang dalam memberikan gelar Pahalawan Nasional kepada mantan Presiden Soeharto dan K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) belum berahkir.
Sejak ususlan itu muncul dalam Sidang Paripurna Akhir Masa Jabatan MPR RI periode 2019-2024 pada 25 September 2024, pemerintah belum kunjung memutuskan
Dalalm Sidang tersebut juga, MPR memberikan rekomendasi pemulihan hak-hak Presiden pertama sekaligus Proklamator Kemerdekaan Soekarno.
Menanggapi hal tersebut Anggota DPR RI Bambang Soesatyo atau Bamsoet menjelaskan kini tidak ada lagi alasan hukum dan politik yang bisa menghalangi proses pemberian gelar Pahlawan Nasional.
“Tidak ada lagi ganjalan hukum maupun politik bagi negara untuk memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Pak Harto,” kata dia, dinukil dari rmol, Kamis 9 Oktober 2025.
Bamsoet mengatakan, sebagai salah satu bentuk penghormatan dan penghargaan kepada jasa-jasa Presiden Soeharto, MPR telah resmi mencabut nama Presiden kedua RI Soeharto dari Ketetapan (TAP) MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang perintah untuk menyelenggarakan yang bersih tanpa Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN).
“Dengan demikian maka tidak ada ganjalan yang bisa menghalangi lagi saat negara memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada beliau,” kata Bamsoet.
Keputusan untuk memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto, kata Bamsoet, akan menjadi langkah bersejarah dan simbol rekonsiliasi nasional.
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang berani menghormati pemimpinnya dan menempatkan sejarah secara adil, tanpa dipengaruhi oleh emosi politik masa lalu,” pungkas Bamsoet.
(rls/ret)


