Diolah dari Berbagai Sumber :
Sidang gugatan uji materi Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terkait Pasal 168 ayat (2), Pasal 342 ayat (2), Pasal 353 ayat (1) huruf b, Pasal 386 ayat (2) huruf b, Pasal 420 huruf c dan d, Pasal 422, Pasal 424 ayat (2), dan Pasal 426 ayat (3), pada tanggal 31 Mei 2023 yang lalu sudah masuk pada tahap penyerahan kesimpulan para pihak, baik pihak Pemohon, Termohon, maupun Terkait.
Selanjutnya akan digelar Sidang Permusyawaratan Hakim untuk mengambil keputusan dan membacakannya. Selama proses menunggu putusan Mahkamah Konstitusi (MK) ini, sebagian besar masyarakat bertanya-tanya tentang kemungkinan keputusan MK terkait sistem pemilihan umum yang akan dilaksanakan, apakah masih terbuka atau tertutup. Mengapa demikian? Karena dari beberapa Pasal yang diujimaterikan, kita hanya terfokus pada Pasal 168 ayat (2) yang mengatur soal sistem Pemilu dengan menggunakan sistem proporsional terbuka.
Pada prinsipnya sistem proporsional terbuka yang diatur dalam Pasal 168 ayat (2) UU No. 7 Tahun 2017 itu, memberikan hak kepada rakyat secara langsung untuk memilih dan menentukan pilihannya terhadap anggota DPR, DPR Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dengan dukungan suara yang paling banyak.
Untuk lebih memudahkan dalam penjelasan urgensitas dan konstitusionalitas tentang uji materi UU No. 7 Tahun 2017 khususnya yang menyangkut adanya sistem Pemilu, maka beberapa hal yang perlu diketahui secara umum adalah tentang kronologis, substansi keberatan, dan skenario putusan MK yang akan ditetapkan.
Pada Pemilu saat masa transisi demokrasi dan pemerintahan tahun 1999, sistem Pemilu yang digunakan berdasarkan UU No. 3 tahun 1999 adalah sistem proporsional stelsel daftar atau proporsional tertutup, yaitu daftar Calon Anggota Legislatif diumumkan di Tempat Pemungutan Suara (TPS). Metoda konversi suara yang dipakai adalah metoda Kuota Hare.
Pemilu tahun 2004 berpedoman pada UU No. 12 tahun 2003, yang menggunakan sistem proporsional semi terbuka berdasarkan nomor urut caleg. Mekanisme konversi pembagian kursi menggunakan Kuota Hare , berdasarkan angka Bilangan Pembagi Pemilih (BPP). Penentuan caleg terpilih dihitung berdasarkan pencapaian suara calon terhadap angka BPP. Jika tidak ada caleg yang mencapai angka BPP, maka akan ditetapkan berdasarkan nomor urut pada daftar calon.
Pada tahun 2009, pelaksanaan Pemilu berdasarkan pada UU No.10 tahun 2008 menggunakan sistem proporsional terbuka, dengan adanya perubahan terhadap penentuan caleg terpilih. Caleg terpilih ditetapkan berdasarkan perolehan suara minimal 30% dari BPP. Namun apabila tidak ada caleg yang mencapai angka 30% BPP, maka calon terpilih ditentukan berdasarkan nomor urut.
Aturan ketentuan penetapan caleg terpilih pada Pemilu 2009 yang kemudian dianggap bertentangan dengan prinsip kedaulatan rakyat, sehingga dilakukan permohonan uji materi oleh Muhammad Sholeh, S.H., dan dikabulkan oleh MK yang pada intinya menyatakan bahwa caleg terpilih adalah berdasarkan suara terbanyak.
Pemilu tahun 2014 dilaksanakan dengan berpedoman pada UU No. 8 tahun 2012 yang mengacu pada Putusan MK Nomor : 22-24/PUU-VI/2008, sehingga pelaksanaan Pemilu menerapkan sistem proporsional terbuka berdasarkan suara caleg, namun masih menggunakan metoda konversi Kuota Hare.
Pada Pemilu tahun 2019 yang berpedoman pada UU No.7 tahun 2017, pelaksanannya tetap menggunakan sistem proporsional terbuka. Namun, dalam penghitungan konversi suara tidak lagi menggunakan Kuota Hare, tetapi menggunakan metoda Divisor Saintelague. Metoda Divisor Saintelague adalah proses penghitungan konversi suara menjadi kursi di setiap Daerah Pemilihan (Dapil) yang dilakukan dengan cara membagi total suara partai politik dengan bilangan ganjil.
Sedangkan Pemilu 2024 nanti, berpedoman pada Perppu No. 1 tahun 2022 tentang Perubahan atas UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Sistem yang digunakan dalam Pemilu 2024 nanti adalah sistem proporsional terbuka berdasarkan suara terbanyak caleg, dengan konversi penghitungan kursi tetap memakai metoda Divisor Saintelague.
Sejak ditetapkannya Putusan MK Nomor : 22-24/PUU-VI/2008, artinya telah membuka ruang dinamika dan semangat baru dalam pelaksanaan sistem Pemilu di Indonesia. Setiap warga negara dapat mempunyai kesempatan untuk mengabdikan diri di kancah politik karena penentuan caleg terpilih ditetapkan berdasarkan suara terbanyak.
Pemilih dapat mengetahui secara pasti track record wakilnya yang akan duduk di parlemen, dan mempunyai tugas untuk mengemban aspirasi mereka. Pemilih pun akan dengan mudah mengawasi secara langsung wakilnya yang duduk di parlemen, apabila mengabaikan aspirasi mereka, dengan memberi catatan untuk tidak dipilih kembali pada Pemilu berikutnya.
Sistem Pemilu terbuka dipandang memiliki derajat keterwakilan yang baik. Artinya, dalam konteks Pemilu, otoritas pemegang daulat adalah rakyat yang memenuhi syarat. Oleh karena sebagai pemegang daulat tertinggi dalam Pemilu maka kewenangan menentukan wakil yang tidak hanya memiliki popularitas, akan tetapi juga etikabilitas (bermoral), intelektualitas, akseptabilitas, dan elektabilitas sepenuhnya menjadi prerogatif rakyat dalam memberi mandat kepada calon legislatif yang dipilihnya.
Diberlakukannya sistem proporsional terbuka pada hakekatnya telah mengembalikan kedaulatan kepada rakyat untuk memilih secara langsung dan menentukan siapa yang akan menjadi perwakilannya di parlemen. Rakyat tidak lagi menjadi objek pelengkap dan penonton dalam Pemilu. Sistem ini menempatkan rakyat sebagai partisipan yang aktif, dan menjadi indikator bahwa sukses tidaknya Pemilu tergantung pada partisipasi aktif dari rakyat ( one man, one vote, one value ).
Beberapa hal yang dijadikan pertimbangan oleh Pihak Pemohon terkait uji materi Pasal 168 ayat (2) tentang sistem proporsional terbuka sebagaimana yang disampaikan dalam sidang perkara Nomor 114/PUU-XX/2022 diantaranya : (1) banyaknya caleg yang tidak memiliki ikatan ideologis dengan partai, (2) melemahkan kelembagaan partai, (3) persaingan antar caleg yang dapat mengakibatkan konflik internal, (4) banyak menghabiskan biaya, (5) melanggar konstitusi, (6) sistem yang rumit dan membingungkan rakyat, dan (7) tidak adanya legal standing individual bagi rakyat secara langsung untuk berada pada pelaksanaan Pemilu.
Salah satu dalil yang cukup menarik untuk dibahas adalah adanya penilaian dari Pemohon bahwa sistem proporsional terbuka itu melanggar konstitusi, yaitu Pasal 22E ayat 3 UUD 1945. Pasal tersebut berbunyi : “Peserta Pemilihan Umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah Partai Politik” dijadikan sebagai alasan bahwa pelaksanaan Pemilu dengan sistem proporsional terbuka adalah melanggar konstitusi. Karena legal standing dari Pemilu adalah Parpol, bukan rakyat.
Akan tetapi pada pasal 22E ayat 1 disebutkan : “Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali”. Kemudian muncullah perdebatan yang sengit tentang penggunaan frasa dari kedua pasal tersebut. Pihak terkait pun sempat mempertanyakan apakah frase “langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil” dimaknai oleh Parpol atau oleh rakyat. Padahal, jika kita teliti lebih lanjut, tidak satu pun dari pasal dan ayat tersebut menyinggung soal sistem pemilu. Begitu juga kita akan menemukan bahwa tidak ada satupun pasal, ayat, atau bagian dari ayat di UUD 1945 yang mengatur tentang sistem Pemilu.
Terlepas dari pendapat-pendapat yang sudah disampaikan oleh para pihak dalam sidang uji perkara di MK tersebut, maka kini tinggal kita mencoba untuk mempersiapkan diri, baik secara fisik maupun mental terhadap keputusan yang nanti akan ditetapkan oleh MK. Beberapa skenario putusan MK nantinya bisa saja (1) menolak permohonan, (2) mengabulkan seluruh permohonan, (3) mengabulkan sebagian versi 1, dan (4) mengabulkan sebagian versi 2.
Pertama, MK bisa saja memutuskan menolak permohonan yang artinya pelaksanaan Pemilu 2024 nanti masih akan tetap menggunakan sistem proporsional terbuka.
Kedua, MK bisa memutuskan mengabulkan seluruh permohonan, yang artinya bahwa pelaksanaan Pemilu akan menggunakan sistem proporsional tertutup. Tinggal kapan sistem ini akan dipergunakan, apakah langsung di tahun 2024 atau tahun 2029. Sudah barang tentu perubahan ini akan berdampak pula pada perubahan instrumen peraturan perundang-undangan yang ada di bawahnya.
Ketiga, MK akan mengabulkan sebagian permohonan versi 1, dengan menerapkan sistem campuran ( electoral hybrid system ), yaitu penerapan dengan sistem tertutup dengan nomor urut, akan tetapi juga tetap memperhatikan suara terbanyak. Ini pun tinggal menunggu kapan akan diberlakukan, apakah di 2024 atau di 2029.
Keempat, MK akan mengabulkan sebagian permohonan versi 2, yaitu masih dengan menerapkan electoral hybrid system, hanya saja sistem ini merupakan sistem campuran yang dilihat dari tingkatannya, yaitu sistem tertutup untuk DPR-RI dan sistem terbuka untuk DPRD Provinsi, Kabupaten/Kota. Sistem ini pun bisa diterapkan langsung di 2024 atau di 2029.
Jika melihat fakta-fakta bahwa berbagai argumen yang disampaikan oleh para pihak sama-sama kuat dan logis, yang menjelaskan tentang kelebihan dan kelemahan masing-masing sistem Pemilu, serta memperhatikan bahwa tahapan Pemilu sedang berjalan, sudah pasti hakim MK tentunya akan mengambil sikap yang hati-hati serta penuh pertimbangan yang matang, dan akhirnya memilih proses win-win solution dalam pengambilan keputusannya.
Artinya, besar kemungkinan bahwa keputusan MK nantinya akan menggunakan sistem campuran ( electoral hybrid system ) di Pemilu 2024 nanti. Bisa saja sistem campuran antara nomor urut dan suara terbanyak, atau sistem campuran berdasarkan tingkatan pemilihannya. Para pengamat politik menilai bahwa sistem campuran inilah yang paling kecil dampak dan resiko politisnya terhadap keberlangsungan demokrasi kehidupan berbangsa dan bernegara di tahun politik 2024.
Jadi apapun keputusannya nanti, baik sistem terbuka ataupun tertutup, demokrasi harus tetap berjalan dan berdiri tegak.