Khoirunnisa Nur Agustyati adalah Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi
(Perludem), Koordinator Bidang Kajian dan Pendidikan Politik LHKP PP Muhammadiyah. (foto Dok. Pribadi)
PEMILU 2024 akan terlaksana kurang dari satu tahun lagi. Sudah menjadi hal yang jamak kita alami saat menjelang pemilu, dalam grup percakapan atau media sosial sudah ramai dengan tersebarnya berita-berita yang simpang siur atau informasi yang tidak benar. Masa kampanye resmi baru akan dimulai pada 28 November 2023 dan akan berlangsung selama 75 hari hingga dimulainya masa tenang. Namun, hingga saat ini belum ada peraturan teknis mengenai sosialisasi yang dilakukan para bakal calon peserta pemilu.
Ditetapkan masa kampanye yang mendekati hari pemungutan suara menyebabkan munculnya ruang abu-abu, yang dimanfaatkan para bakal calon peserta pemilu, salah satu media yang dimanfaatkan ialah media digital. Ruang digital merupakan salah satu media yang digunakan peserta pemilu untuk medekati pemilih. Untuk itulah, perlu adanya dorongan untuk mewujudkan ekosistem digital yang demokratis menuju Pemilu 2024.
Berdasarkan pengalaman dari Pemilu 2014 dan Pemilu 2019, penyebaran informasi yang tidak benar selama masa pemilu telah membuat pembelahan di masyarakat. Pengacauan informasi (information disorder) bukan hanya memainkan emosi masyarakat, melainkan juga mengganggu proses penyelenggaraan pemilu. Kekacauan informasi semakin marak terjadi dalam penyelenggaraan pemilu.
Berdasarkan data dari Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo), 60% dari 1221 hoaks yang ditemukan pada 2019 merupakan hoaks pemilu yang menyerang peserta, proses, dan lembaga penyelenggara pemilu. Menghadapi Pemilu 2024, tentu kita perlu menyiapkan strategi agar penyebaran disinformasi tidak semakin masif, dan menyebabkan polarisasi di masyarakat.
Perludem melakukan kajian mengenai gangguan terhadap hak memilih (voter suppression) pada 2021. Pengacauan informasi merupakan salah satu bentuk dari gangguan terhadap hak memilih. Klasifikasi gangguan terhadap hak memilih antara lain, (1) mengancam atau mengintimidasi langsung, (2) menyebarkan disinformasi untuk mengelabui pemilih dari informasi yang benar, (3) mengganggu jalur komunikasi lawan sehingga sulit berkomunikasi dengan pemilih, (4) mengusik hak seseorang untuk memilih (Freeman, Fields, dan Rodriguez, 2009).
Bentuk pengacauan informasi, antara lain pertama, keterbatasan informasi kepada kelompok rentan. Kelompok rentan memiliki keterbatasan dalam mengakses informasi pemilu, dan tidak jarang informasi yang disampaikan hanya terbatas pada tata cara pemberian suara. Padahal, pemilih kelompok rentan juga memiliki hak untuk mendapatkan informasi mengenai tahapan pemilu yang lain seperti informasi pada masa kampanye.
Kedua, ialah pengacauan informasi terkait dengan prosedur teknis kepemiluan. Terdapat pengacauan informasi mengenai teknis kepemiluan akibat dampak dari media sosial yang mengubah cara menyebarkan dan mengonsumsi informasi. Kekacauan informasi ini bisa dalam bentuk disinformasi, misinformasi, dan malinformasi.
Disinformasi adalah informasi keliru yang sengaja dibuat untuk merugikan seseorang, kelompok sosial, organisasi, komunitas, atau negara. Misinformasi adalah informasi keliru yang dibuat tidak untuk menyebabkan kerugian. Orang menyebarkan misinformasi percaya bahwa infomrasi tersebut benar, tanpa bermaksud membahayakan orang lain. Sementara itu, malinformasi adalah informasi yang didasarkan pada kenyataan yang digunakan untuk merugikan seseorang, organisasi, komunitas, atau negara (Wardle dan Derakhshan, 2017).
Kekacauan informasi yang berkembang dalam pemilu, bertujuan untuk mendeligitimasi proses pemilu yang berdampak secara signifikan pada turunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemilu dan lembaga demokrasi. Pada Pemilu 2019, disinformasi yang tersebar dikategorikanmenjadi disinformasi yang menyerang kredibilitas penyelenggara tahapan pemilu. Termasuk juga disinformasi yang menyerang antarpeserta pemilu. Dampak yang cukup signifikan dari kacaunya informasi ialah polarisasi di masyarakat. Polarisasi dapat diasosiasikan dengan pemisahan masyarakat menjadi dua kelompok homogen yang saling bertentangan. Jika tingkat polarisasi tinggi, suatu kelompok tidak hanya menentang, tetapi juga memandang rendah kelompok lain, tetapi juga mencari cara untuk mengalahkan kelompok lain dengan cara apa pun juga (Hicken, 2021).
Polarisasi dapat merusak demokrasi karena melemahkan penghormatan terhadap nilai-nilai demokrasi, merusak proses dasar legislatis, memperburuk intoleransi dan diskriminasi, mengurangi kepercayaan masyarakat, dan meningkatkan kekerasan di berbagai lapisan masyarakat (Carothers dan O’Donohue, 2019).
Polarisasi pun dapat mengancam institusi demokrasi ketika pertama, muncul istilah “kita versus mereka”. Masingmasing pihak membingkai pihak lain tidak hanya sebagai pesaing atau lawan dengan pandangan dan tujuan yang berbeda, tetapi juga sebagai liyan yang tidak diakui dan merupakan suatu ancaman eksistensi (Somer dan McCoy, 2018).
Kedua, dalam kondisi politik yang sangat terpolarisasi, kubu petahana membingkai lawan politik sebagai “musuh negara”, dan dengan demikian menciptakan dalih untuk mengintimidasi dan menekan kekuatan oposisi (Somer dan McCoy, 2019; Svolik, 2019). Ketiga, munculnya tanda-tanda memburuknya polarisasi yang afektif di mana antipati antara pendukung di tingkat masyarakat meningkat (McCoy dkk, 2018).
Regulasi yang minim
Payung hukum penyelenggaraan Pemilu 2024 menggunakan payung hukum yang sama dengan regulasi Pemilu 2019, yaitu UU Nomor 7 Tahun 2017. Regulasi yang ada saat ini, belum ada yang betulbetul dapat menyasar pada inti permasalahan penyebaran disinformasi dalam pemilu. Di dalam UU Nomor 7/2017 tentang Pemilu, belum ada aturan khusus terkait dengan hal ini.
Misalnya, regulasi mengenai kampanye yang diatur hanya mampu menjangkau peserta pemilu di masa kampanye resmi. Sementara itu, situasi hari ini membuka ruang abu-abu karena masa kampanye baru akan dilaksanakan mendekati hari pemungutan suara dan hanya berlangsung selama 75 hari. Berbeda dengan masa kampanya pada Pemilu 2019, masa kampanye berlangsung selama 6 bulan 21 hari.
Selama ini aturan mengenai kampanye di media sosial tertuang dalam Peraturan KPU (PKPU). Pasal 35 PKPU Kampanye Nomor 23 Tahun 2018 tentang Kampanye Pemilihan Umum, menyebutkan bahwa peserta pemilu dapat melakukan kampanye melalui media sosial, jumlah akun yang dapat dibuat ialah paling banyak 10 akun untuk setiap jenis aplikasi. Namun, PKPU masih menekankan pada pembatasan jumlah akun media sosial peserta pemilu, padahal permasalahannya ialah bukan pada jumlah akun, melainkan pada konten negatif yang disebarkan melalui akunakun yang tidak resmi. Selain itu, akun resmi yang terdaftar tentu tidak akan menyebarkan informasi yang tidak valid.
Menciptakan ekosistem digital yang demokratis
Minimnya kerangka hukum dalam menanggulangi kekacauan informasi saat Pemilu 2024 mendorong upaya terwujudnya ekosistem digital yang demokratis yang diinisiasi masyarakat sipil. Upaya menciptakan ekosistem ini dapat dilakukan dengan pertama, memperkuat kemampuan mendeteksi, menganalisis, dan mengungkap kekacauan informasi pemilu.
Informasi yang diterima melalui platform komunikasi atau dalam platform grup percakapan kerap langsung diterima sebagai informasi yang benar. Bahkan, tidak jarang pesan itu langsung disebarkan tanpa melakukan verifikasi atas validitas informasi tersebut. Jikapun ada yang melakukan hal tersebut, masyarakat awam tidak mengetahui cara mengungkap atau melaporkan bahwa informasi yang disampaikan tidak benar.
Hal itu tidak hanya penting bagi masyarakat umum termasuk pemilih muda, tetapi juga bagi penyelenggara pemilu. Berdasarkan pengalaman pemilu sebelumnya, penyelenggara pemilu pun menjadi target dari pengacauan informasi. Selain itu, hal yang tidak kalah penting ialah peran dari platform media sosial dalam melakukan moderasi konten atas konten yang dinilai tidak benar.
Kedua, memperkuat konsolidasi masyarakat sipil dan sinergi dengan kelompok lainnya dalam pencegahan dan penanganan kekacauan informasi pemilu. Masyarakat sipil memiliki inisiatif bersama dalam upaya penanganan disinformasi. Terdapat Koalisi Lawan Disinformasi pemilu yang saling berbagi peran dalam pencegahan dan penanganan kekacauan disinformasi pemilu dan Koalisi Damai, yang mendorong keterbukaan platform media sosial dalam menanggulangi kekacauan informasi. Kolaborasi ini pun juga termasuk dengan jejaring masyarakat sipil dan media di daerah, yang juga memiliki inisiatif yang sama dalam pencegahan dan penanganan kekacauan informasi pemilu.
Ketiga, memperkuat koordinasi dengan pihak-pihak terkait dalam pencegahan dan penanganan kekacauan informasi pemilu. Penanganan kekacauan informasi pemilu tidak bisa hanya dilakukan satu pihak. Perlu ada komitmen multipihak, dalam hal ini penyelenggara pemilu, pemerintah melalui kementerian dan instansi terkait, masyarakat sipil, media, termasuk platform media sosial.
Oleh karena itu, penting adanya forum multipihak yang dikomandoi penyelenggara pemilu atau pemerintah. Di dalam forum ini, setiap pihak dapat berbagi peran dalam pencegahan dan penanganan kekacauan informasi pemilu. Peran yang bisa dilakukan, antara lain penguatan kerangka hukum melalui peraturan teknis, seperti Peraturan KPU (PKPU) atau Peraturan Bawaslu (Perbawaslu), prebunking (pencegahan), literasi pemilih, moderasi konten, dan debunking (pengungkapan/klarifikasi atas kekacauan informasi).
Pemerintah Indonesia juga telah berkomitmen atas keterbukaan pemerintah (Open Government Indonesia). OGI adalah bentuk kemitraan antara pemerintah dengan masyarakat sipil, yang bertujuan mewujudkan pemerintahan yang transparan, akuntabel, dan inklusif. Dalam konteks penanganan pengacauan informasi pemilu, terdapat rencana aksi dan juga implementasi penanganan kekacauan informasi bersama penyelenggara pemilu yang penting dikawal dalam menghadapi Pemilu 2024.
Keempat, memperkuat ketahanan pemilih terhadap kekacauan informasi pemilu. Mendorong pemilih yang berdaya ialah salah satu upaya dalam menangani kekacauan informasi pemilu. Pada Pemilu 2019, terdapat 17.503.953 atau 11,12% suara pada Pemilu DPR yang tidak sah. Pemilu 2024 akan menggunakan jenis keserentakan yang sama dengan Pemilu 2019 yang menggabungkan lima jenis pemilu pada hari yang sama, yaitu pemilu presiden, pemilu DPR, pemilu DPD, pemilu DPRD provinsi, dan pemilu DPRD kabupaten/kota. Pada Pemilu 2019, pemilu presiden mendapatkan fokus utama dari pemilih.
Untuk itulah, perlu mengupayakan penyebaran informasi yang komprehensif kepada pemilih mengenai tahapan pemilu dan semua jenis pemilu. Salah satu cara yang dapat dilakukan ialah dengan memublikasikan data kepemiluan melalui media yang dapat dengan mudah diakses publik. Baik itu data partai politik peserta pemilu, data daerah pemilihan, data calon, data dana kampanye, data hasil pemilu, maupun termasuk data mengenai penanganan pelanggaran pemilu. Keterbukaan data dan informasi akan menumbuhkan partisipasi publik dalam penyelenggaraan pemilu, dan dapat mendorong publik dapat lebih bijak dalam mencerna informasi yang beredar melalui ruang-ruang digital.