Penulis : Agung Wibawanto.
Belum lama Mahfud MD menjawab tudingan Benny K. Harman dkk (Komisi III DPR RI) terkait dokumen negara berupa salinan PPATK yang diserahkan kepada Menkopolhukam, lalu dipublish. Mahfud mengatakan, bahwa “jika tidak ada larangan dalam hukum, maka diperbolehkan”. Atau, dijelaskan lagi, “tidak ada sesuatu yang dilarang sampai sesuatu itu dinyatakan terlarang oleh hukum yang mengaturnya”.
Mahfud menambahkan, dalam hukum, sesuatu yang dibolehkan itu tidak perlu ada pasalnya. Pasal itu untuk mengatur segala sesuatu yang dilarang (kalau aturan yang membolehkan, bahkan mewajibkan, itu namanya juklak juknis). Lebih lanjut Mahfud menganalogkan jika dia minta izin ke kamar mandi, apa boleh? Tentu saja boleh, apa ada pasal yang mengatur? Gak ada, karena boleh, kecuali memang diatur dan dilarang.
Mahfud membacakan dalil baik dalam hukum Islam (bhs Arab), maupun juga hukum publik (bhs latin). Saya tidak tahu dan tidak hafal, tapi bisa dicarikan referensinya di google. Dalam Islam sendiri sepengetahuan saya, ada beragam status hukum. Meski.secara umum hanya dua yakni: haram dan wajib. Haram itu berarti larangan, dan wajib berarti perintah yang keduanya diatur dalam Al Qur’an. Lantas bagaimana yang lainnya?
Makanya Islam itu dikenal luwes atau tidak memberatkan (rahmatan Lil Al-Amin). Hukum Islam tidak hanya mengenal haram dan wajib. Tapi juga ada “pengecualian”. Dalam pengecualian tersebut, mungkin karena satu dan lain hal (situasi dan kondisi), dikenal pula ada yang hukumnya “berpahala jika dilakukan, tapi tidak apa-apa jika ditinggalkan”. Status hukumnya yang seperti itu disebut Sunnah. Ada pula kebalikannya.
“Jika dilakukan tidak apa-apa, tapi jika ditinggalkan akan lebih baik dan berpahala”. Status seperti ini disebut dengan makruh. Bagaimana seorang muslim jika dihadapkan kepada sesuatu yang tidak jelas hukumnya dan tidak jelas obyeknya, yang kemudian menimbulkan keraguan? Jika memang tidak tahu, maka sifatnya “mubah” atau boleh dilakukan. Namun demikian, sebaik-baiknya jika ragu adalah ditinggalkan atau tidak dilakukan.
Persoalannya, siapa yang akan menetapkan “pengecualian” hukum tadi? Karena setiap kita menjalani dan bertanggungjawab kepada diri sendiri, maka diri sendirilah yang akan membuat pengecualian tersebut. Setiap kita tidak berhak mengadili pilihan siapapun. Karena kelak Allah SWT yang akan mengadilinya. Seseorang mau menyatakan sunah, makruh atau mubah untuk dirinya sendiri, silahkan saja.
Mengapa demikian? Karena tidak diatur dalam Al Qur’an. Hal ini berbeda dengan sesuatu perkara yang sudah nyata-nyata dilarang dan atau diperintahkan dalam Al Qur’an. Inilah substansi perdebatan antara Mahfud MD dengan Arteta, Benny K. Harman maupun Asrul Sani dari Komisi III DPR RI. Arteta kemudian sempat pula menanggapi Mahfud soal “boleh”. Arteta masih keberatan dengan diktum “boleh jika tidak ada larangannya”.
Menurut Arteta, hal tersebut mestinya juga kondisional. Artinya, tidak dalam semua kondisi dapat diberlakukan seperti itu. Dasar urgenitasnya apa? Harus ada konteks nya, kira-kira seperti itu. Mahfud pun menjelaskan apa dasar dari pengecualiannya tersebut sekaligus menjawab tujuannya membuka kasus ini ke publik. Mahfud mengatakan dirinya sempat berbincang berdua dengan presiden Jokowi.
Menurut cerita Mahfud, presiden marah karena indeks penanganan korupsi Indonesia menurun. “Presiden bertanya kenapa dan di mana letak masalahnya?” Berdasar penyelidikan Mahfud selaku Menkopolhukam yang sekaligus Ketua Komite TPPU (setelah gelar pertemuan dengan kelompok kecil termasuk dengan Transparansi Indonesia) diketahui ada di tubuh bea cukai dan pajak (semuanya di bawah Kemenkeu). Itu yang terbesar.
Sebagai Ketua Komite TPPU, Mahmud merasa memiliki kewenangan untuk bertanya dan meminta laporan PPATK. Kemudian pula berbarengan muncul kasus Rafael Alun, orang tua dari Mario Dandy yang menjadi pelaku penganiayaan terhadap korban, David. Berawal dari “penampakan” mobil Rubicon yang dikenakan Mario, berbuntut kepada pemeriksaan kekayaan Rafael yang diketahui sebagai pegawai Dirjen Pajak.
Data PPATK yang ditengarai ada transaksi mencurigakan sebesar 300 an Triliyun, ditambah adanya temuan harta kekayaan pegawai Dirjen Pajak yang diluar nalar, membuat Mahfud berinisiatif mengungkap ke publik. Begitupun, Mahfud beralasan dirinya masih memegang asas praduga tak bersalah dengan tidak menyebut nama, akun, maupun perusahaannya. Mahfud beralasan ini big money yang sudah berlangsung lama sejak 2009.
Tujuan lain dipublikasikannya kasus dugaan pencucian uang ini agar diketahui dan dikawal langsung oleh publik. Jadi, untuk menjawab Arteta dengan pertanyaan soal dasar pengecualian atau yurispredensi nya Mahfud mendapat laporan PPATK dan kemudian mempublikasikannya adalah karena kewenangan Mahfud sebagai Ketua Komite TPPU, “Buat apa dibentuk komite, buat apa ada Ketua kalau tidak boleh?”
Terlebih Mahfud merasa sudah diperintah presiden untuk mengusut tuntas kasus ini. Dalam bahasa hukum, kewenangan tersebut diistilahkan dengan diskresi. Atau kalau konteks hukum Islam tadi disebut mubah karena Mahfud punya kewenangan dan sepanjang tidak ada larangan untuk itu. Arteta yang mengaku sarjana hukum bisnis, masternya hukum konstitusi dan sedang ambil program doktor hukum pidana, mungkin harus belajar lagi.
Terlebih, yang dihadapi Arteta adalah seorang profesor dan guru besar hukum yang sudah kenyang berhadapan dengan banyak kasus. Bahkan dia bisa banyak tahu dengan cara berpikir para pelaku kriminal. Jika Arteta ingin memperkarakan, maka Mahfud dengan senang hati menerima diperkarakan. Karena pula Mahfud yakin menghindari kemudaratan akan jauh lebih baik ketimbang mendahulukan kewajiban.