“Pemilu 2024 sebanyak 10 Partai Politik yang dinyatakan tidak lolos memenuhi ambang batas parlemen diantaranya, PPP, Gelora, PKN, Hanura, Garuda, PBB, PSI, dan Perindo dengan total perolehan semua suara sah yang tidak terpakai sebanyak 17.304.303”
Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan besaran ambang batas parlemen (parliamentary threshold) suara sah nasional diubah lewat sidang uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (29/2/2024).
Lewat putusan tersebut, MK mengabulkan sebagian gugatan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) tentang penerapan ambang batas 4 persen. Dalam petitumnya, Perludem menganggap ketentuan ambang batas tersebut menghilangkan suara rakyat atau pemilih yang tidak terkonversi menjadi kursi di DPR
Sejalan dengan itu, MK menilai ketentuan ambang batas empat persen yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) tidak sejalan dengan prinsip kedaulatan rakyat, keadilan pemilu, dan melanggar kepastian hukum yang dijamin oleh konstitusi.
“Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Menyatakan norma Pasal 414 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum adalah konstitusional sepanjang tetap berlaku untuk Pemilu DPR 2024 dan konstitusional bersyarat untuk diberlakukan pada Pemilu DPR 2029 dan pemilu berikutnya.
Sepanjang telah dilakukan perubahan terhadap norma ambang batas parlemen serta besaran angka atau persentase ambang batas parlemen dengan berpedoman pada persyaratan yang telah ditentukan,” kata Ketua MK Suhartoyo membacakan amar putusan, Kamis. (29/2/2024) dikutip dari laman web mkri.id.
Sebelumnya, Perludem mempersoalkan norma Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu sepanjang frasa “paling sedikit 4% (empat persen) dari jumlah suara sah secara nasional”. Selengkapnya, Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu menyatakan.
“Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 4% (empat persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR”, Pemohon menyebut hubungan ambang batas parlemen dengan sistem pemilu proporsional.
Pemohon berargumen, ambang batas parlemen ini adalah salah satu variabel penting dari sistem pemilu yang akan berdampak langsung kepada proses konversi suara menjadi kursi.
Menurut Perludem, ketentuan ambang batas parlemen ini tidak boleh tidak dikaitkan dengan ketentuan di dalam Pasal 168 ayat (2) UU Pemilu yang mengatur bahwa pemilu untuk memilih anggota DPR baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.
Perludem mengaitkan ketentuan ambang batas parlemen ini dengan tidak konsistennya atau menimbulkan ketidakpastian antara ketentuan ambang batas parlemen yang 4% dan berakibat tidak terwujudnya sistem pemilu yang proporsional karena hasil pemilunya tidak proporsional
Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Wakil Ketua MK Saldi Isra, Mahkamah tidak menemukan dasar metode dan argumen yang memadai dalam menentukan besaran angka atau persentase ambang batas parlemen dimaksud, termasuk metode dan argumen yang digunakan dalam menentukan paling sedikit 4% (empat persen) dari jumlah suara sah secara nasional sebagaimana ditentukan dalam Pasal 414 ayat (1) UU Pemilu.
Bahkan, merujuk keterangan pembentuk undang-undang, yaitu Presiden dan DPR terhadap permohonan a quo, Mahkamah tidak menemukan dasar rasionalitas dalam penetapan besaran angka atau persentase paling sedikit 4% (empat persen) dimaksud dilakukan dengan metode dan argumen penghitungan atau rasionalitas yang jelas.
Selain argumentasi di atas, Saldi melanjutkan ambang batas parlemen jelas memiliki dampak terhadap konversi suara sah menjadi jumlah kursi DPR, yang berkaitan dengan proporsionalitas hasil pemilu. Artinya, bilamana diletakkan dalam basis argumentasi sistem pemilihan proporsional yang dianut, jumlah suara yang diperoleh partai politik peserta pemilu selaras dengan kursi yang diraih di parlemen agar hasil pemilu menjadi proporsional. Untuk itu, dalam sistem pemilu proporsional semestinya meminimalisir suara yang terbuang agar hasil pemilu tidak terkategori menjadi tidak proporsional atau disproporsional.
Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah memaparkan dalam konteks keterpenuhan prinsip proporsionalitas dimaksud, misalnya, pada Pemilu 2004 suara yang terbuang atau tidak dapat dikonversi menjadi kursi adalah sebanyak 19.047.481 suara sah atau sekitar 18% (delapan belas persen) dari suara sah secara nasional.
Begitu pula dalam Pemilu 2019, terdapat 13.595.842 suara tidak dapat dikonversi menjadi kursi DPR atau sekitar 9,7% (sembilan koma tujuh persen) suara sah secara nasional. Meski pada Pemilu 2014 “hanya” terdapat 2.964.975 suara yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi DPR, atau sekitar 2.4% (dua koma empat persen) dari suara sah secara nasional, Pemilu 2024 sebanyak 10 Partai Politik yang dinyatakan tidak lolos memenuhi ambang batas parlemen diantaranya, PPP, Gelora, PKN, Hanura, Garuda, PBB, PSI, dan Perindo dengan total suara yang tidak terpakai sebanyak 17.304.303 suara sah.
Namun secara faktual jumlah partai politik di DPR lebih banyak dibandingkan hasil Pemilu 2009 dan Pemilu 2019, yaitu 10 (sepuluh) partai politik. bentangan empirik tersebut menegaskan telah terjadi disproporsional antara suara pemilih dengan jumlah partai politik di DPR selama diterapkannya ambang batas parlemen dalam pemilu anggota DPR.
Fakta tersebut membuktikan, hak konstitusional pemilih yang telah digunakan pemilih dalam pemilu menjadi hangus atau tidak dihitung dengan alasan penyederhanaan partai politik demi menciptakan sistem pemerintahan presidensial yang kuat dengan ditopang lembaga perwakilan yang efektif.
“Padahal prinsip demokrasi menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945, namun kebijakan ambang batas parlemen telah ternyata mereduksi hak rakyat sebagai pemilih. Hak rakyat untuk dipilih juga direduksi ketika mendapatkan suara lebih banyak namun tidak menjadi anggota DPR karena partainya tidak mencapai ambang batas parlemen,” ucap Saldi dikutip mataradarindonesia.com melalui laman web mkri.id.
Penentuan besaran angka atau persentase ambang batas parlemen yang tidak didasarkan pada dasar metode dan argumen yang memadai, secara nyata telah menimbulkan disproporsionalitas hasil pemilu karena tidak proporsionalnya jumlah kursi di DPR dengan suara sah secara nasional.
Padahal, sesuai dengan pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUUVII/2009, kewenangan pembentuk undang-undang dalam menentukan ambang batas parlemen termasuk besaran atau persentase dapat dibenarkan sepanjang tidak bertentangan dengan hak politik, kedaulatan rakyat, dan rasionalitas.
“Namun secara faktual prinsip-prinsip tersebut telah tercederai karena berakibat banyak suara pemilih yang tidak dapat dikonversi menjadi kursi di DPR, sehingga menciptakan disproporsionalitas sistem pemilu proporsional yang dianut, hal demikian disadari atau tidak, baik langsung atau tidak telah menciderai makna kedaulatan rakyat, prinsip keadilan pemilu, dan kepastian hukum yang adil bagi semua kontestan pemilu termasuk pemilih yang menggunakan hak pilih.” jelas Saldi.
Partai Persatuan Pembangunan adalah partai parlemen yang telah gagal dalam hasil pemilu 2024 setelah KPU RI. menetapkan hasil rekapitulasi penghitungan perolehan suara. Ini pertama kali dalam Sejarah jika PPP harus tumbang ditengah ketentuan ambang batas parlemen karena tidak mencapai angka 4 persen. PPP dalam hasil pleno penetapan KPU RI kemarin hanya mencapai angka 3,8 persen suara. Jumlah suara PPP 5.878.777 suara (3,8%), sedangkan ambang batas parlemen 4%.
Akibat karena tidak lolos ambang batas parlemen, ratusan Caleg PPP seluruh Indonesia khususnya yang memperoleh suara signifikan terpaksa gigit jari karena gagal melenggang ke senayan ditengah tumbangnya Partai Persatuan Pembangunan ini, sorotan internal adalah bahwa ambang batas sangat mereduksi hak rakyat sebagai pemilih dalam pemilu 2024.
Mesik demikian. Aturan ambang batas ini telah diberlakukan mulai tahun 2024. Dan akan digunakan juga untuk Pemilu 5 Tahun mendatang (2029-red), sekiranya Partai Ka`bah ini beserta 9 Partai lainya segera melakukan evaluasi total dalam rangka menyiapkan diri untuk menyambut pesta demokrasi 5 tahun mendatang. (ret)