Ali Baham Temongmere dikenal sebagai sosok yang selalu mengayomi bagi banyak orang. Menurut saudara Angkat Djafa Ngabalin. Putra dari Alm Hasan basri Ngabalin sangat mengenal dekat dengan sifat, watak dan karakter Ali Baham Temongmere yang kini menjabat sebagai Sekda Papua Barat dimasa kepemimpinan Domainggus Mandacan dan Mohammad Lakotani dimasa periodic kedua.
Ketika itu, menurut cerita Djafar Ngabalin bahwa Ali Baham tinggal di rumah Haji Hasan Basri Ngabalin di Wagom selama enam tahun agar lebih dekat dengan sekolahnya, yaitu SMP Negeri 1 Fakfak hingga lulus SMA Negeri 416 Fakfak. Djafar Ngabalin adalah salah seorang anak Haji Hasan Basri. Usianya hanya terpaut dua tahun lebih muda dari pada Ali Baham.
Mereka berdua adalah teman sepermainan. Kedua ayah mereka saling berteman, bahkan berkerabat. Ayah Ali Baham bernama Achmad Temongmere adalah Kepala Desa Wayati, sedangkan ayah Djafar Ngabalin adalah Kepala Pembangunan Desa di Kecamatan Fakfak. Desa Wayati merupakan salah satu wilayah pembinaan Hasan Basri.
”Sejak Abang Ali lulus Sekolah Dasar, beliau pindah dari Kampung Kotam ke Kota Fakfak. Waktu itu Abang Ali dibawa ayahnya ke rumah kami, selanjtnya tinggal bersama kami selama enam tahun”Cerita Kisah Ali Baham oleh Djafar Ngabalin.
Djafar menyaksikan bagaimana Ali Baham sejak kecil suka belajar dan berdisiplin tinggi, “Orangnya pintar, tertib, teratur, dan patuh. Dia pun sangat rajin beribadah, menjalankan sholat lima waktu. Sepengetahuan saya beliau tidak pernah juara dua, selalu juara satu”, tambahnya.
Menurut Djafar, Ali Baham dididik oleh keluarga yang taat beragama Islam sehingga dia pun tumbuh dan berkembang sebagai seorang yang taat dalam menjalankan ajaran agama. Sejalan dengan itu, dia pun dididik untuk menghormati, menyayangi, bahkan mengayomi saudara-saudara yang beragamna lain, khususnya Katolik dan Protestan. Perbedaan agama di Papua, khususnya di Fakfak, adalah hal yang biasa.
Dalam satu marga, seperti marga Temongmere, ada yang beragama Islam, Kristen, dan Katolik. “Abang Ali memiliki sikap toleransi yang tinggi, yaitu menghormati dan mengayomi para pemeluk agama lain. Apalagi kami orang Fakfak memiliki filosofi ‘Satu Tungku, Tiga Batu’, yaitu memperlakukan orang lain yang berbeda agama sebagai saudara. Para orang tua mendidik kami untuk saling menghargai sesama manusia,”jelas Djafar.
Pendidikan Disiplin Cenderung Keras
Djafar menceritakan bahwa ayahnya mendidik anak-anak dengan keras dan disiplin tinggi. Hal itu juga diberlakukan kepada anak-anak angkatnya, termasuk Ali Baham.
“Waktu itu sempat terlintas di pikiran saya kenapa ayah berlaku seperti orang jahat. Suatu hari dia mendapati kayu bakar di dapur sudah habis sehingga ibu tidak bisa memasak. Ketika dia tahu bahwa tidak ada anak-anaknya yang tergerak untuk mencari kayu bakar maka marahlah beliau. Kami semua dimarahi dan dipukul. Namun sekarang kami menyadari ternyata didikan ayah tersebut membuat kami menjadi orang-orang yang tangguh dan bertanggung jawab. Alhamdulilah”. kenang Djafar
Djafar ingat suatu hari di masa mereka remaja, Djafar bersama beberapa saudara dan temannya, termasuk Ali Baham, ingin datang ke pesta joget. Namun ayahnya tidak mengizinkan. Dasar anak muda, mereka nekat pergi, sembunyi-sembunyi. Saat pergi hari masih sore, ada perahu yang bisa membawa mereka ke tempat pesta joget. Setiba di tempat itu, mereka asyik menikmati suasana lagu-lagu sambil sesekali ikut berjoget. Tanpa disadari hari sudah larut malam dan mereka harus pulang. Namun apa yang terjadli? Perahu sudah tidak ada. Galaulah hati mereka.
Akhirnya mereka memutuskan untuk berenang agar bisa tiba di rumah sesegera mungkin agar terhindar dari amarah sang ayah. Dengan terengah-engah mereka berenang sekuat tenaga dan tiba di rumah dalam keadaan basah kuyup. Sudah jatuh, tertimpa tangga. Kira-kira begitulah yang mereka alami pada malam itu. Rupanya di depan rumah sudah menunggu sang ayah dengan tongkat pemukul di tangan. Habislah mereka dimarahi dan dipukul.
“Sejak saat itu, ketika orang tua sudah melarang, jangan coba-coba lagi untuk melanggar keputusannya. Pendidikan dlisiplin seperti inilah yang diajarkan orang tua kepada kami. Termasuk kedisiplinan untuk sholat. Pernah suatu kali kami semua tidak boleh makan karena sholat kami dianggap tidak benar oleh ayah” ungkap Djafar
Jika ayah mendidik anak-anak secara keras, ibu berlaku mengayomi dan memberi nasihat. Misalnya, saat ayah marah, ibu memberi kode untuk segera masuk dan menjelaskan alasan kenapa ayah marah. Setelah itu beliau menasihati kami agar berlaku lebih baik lagi. Ibu menyarankan agar anak-anak jangan “berkepala batu”, sebaliknya harus mengikuti apa yang dikatakan oleh ayah.
Djafar bercerita bahwa kedua orang tuanya mengajari tentang menjaga dan merawat lingkungan, seperti merapikan dan membersihkan tempat tidur dan kamar mandi. Ayah dan ibu membuat jadwal rutin untuk kerja bakti. Misalnya, membersihkan halaman, lalu dapur, dan seisi rumah. Pada malam hari, ayah memantau kami saat belajar,tambahnya.
Sebagai saudara angkat, Djafar Ngabalin bangga melihat pencapaian yang diraih Ali Baham. Djafar mengatakan bahwa Ali Baham hingga saat ini merupakan salah seorang putra terbaik Fakfak, yang cerdas, berakhlak, dan berintegritas.
“Saya berharap karirnya akan terus berlanjut ke tingkat yang lebih tinggi lagi. Dia pantas menjadi gubernur atau menteri. Karakter dan kapasitasnya serta jiwa nasionalismenya tidak perlu diragukan lagi,” kata Djafar.
Sebagai saudara, Djafar berharap agar Ali Baham tetap menjaga karakter yang selama ini menjadi sifatnya, yaitu sebagai pengayom keluarga dan sesama manusia, siapa pun orangnya, serta tampil menjadi putra Papua yang benar-benar berjiwa nasionalis.
Kisah Ali Baham Lompat ke Kelas Enam Ikut Ujian Nasional
Di Kampung Kotam pada era sekitar tahun 1970-an hingga 1980-an, anak-anak usia sekolah dasar yang bersekolah tidak sebanyak sekarang. Saat itu belum ada program Wajib Belajar. Dikelas V/ Sekolah Dasar Negeri (SDN) Kotam, teman sekelas Ali Baham cuma satu orang, yaitu Safia. Dia tidak lain adalah mama ade atau bibi dari Ali Baham sendiri. Safia adalah sepupu perempuan dari Ahmad Temongmere, ayah Ali Baham. Usia mereka tidak terpaut jauh. Sementara Habiba, kakak Ali Baham, ada di kelas VI, di sekolah yang sama.
Salah seorang guru SDN Kotam yang memiliki kedekatan hubungan sangat baik dengan keluarga Temongmere adalah Agustinus Nimbitkendik. Pak Guru Agus, demikian nama panggilannya, semula pada tahun 1974 mengajar di SD Inpres Wagom yang terletak di Distrik Pariwari. Selanjutnya pada tahun 1975, dia dipindahtugaskan ke SDN Kotam.
“Saat saya dan istri tiba di Kotam, Kepala Kampung Haji Mohamad Wawisa langsung menyambut kami. Beliau meminta kami tinggal di rumah besarnya. Beliau bilang bahwa kamar untuk kami sudah dipersiapkan. Kamar itu sebelumnya untuk Harafiah, salah seorang cucunya. Kami tinggal di kamar itu selama tugas mengajar di Kotam”, kata Pak Guru Agus.
Pagi-pagi sekali, setiap hari Senin hingga Sabtu, Pak Guru Agus berangkat ke sekolah untuk mengajar. Sore harinya dia memberikan pelajaran tambahan atau lesagar murid-muridnya semakin memahami apa yang diajarkan di kelas. Sedangkan pada malam harinya, murid-murid datang ke rumahnya untuk belajar bersama, “Sebelum gelap tiba, saya menyalakan lampu petromak agar anak-anak yang datang bisa belajardengan baik”.kenang Pak Guru Agus
Hubungan Sinergis Guru dan Orang Tua Murid
Pada waktu itu hubungan antara guru dengan muridnya sangat dekat. Guru dianggap sebagai orang tua kedua bagi murid-muridnya sehingga dia sangat dihormati. Di samping mengajarkan materi mata pelajaran sesuai kurikulum, seorang guru juga mendidik murid-muridnya agar mereka memiliki karakter dan budi pekerti yang baik.
“Suatu pagi di hari libur, pernah ada seorang murid perempuan datang ke tempat tinggal saya sambil menggendong adiknya. Setelah mengucapkan salam, dia bergegas mengambil sapu untuk membersihkan rumah, lalu mencuci perkakas dapur yang kotor, sekaligus menyalakan tungku untuk memasak air. Setelah air mendidih, dia membuatkan teh dan menghidangkannya untuk kami. Begitulah, hampir setiap hari anak-anak bergantian membantu kami,” cerita Pak Guru.
Bukan saja dengan murid-muridnya, seorang guru memiliki hubungan baik yang bersifat sinergis dengan para orang tua mereka dalam mendidik anak-anak. Misalnya, ketika guru memberi hukuman kepada seorang murid atas pelanggaran yang dilakukan maka orang tua si murid akan mendukungnya. Orang tua berharap hukuman tersebut memberinya pelajaran agar anaknya tidak mengulangi pelanggaran tersebut. Bahkan jika si murid mengadukan hal tersebut, orang tua tidak jarang malah akan memarahi atau menghukum anaknya. Itu semua dilakukan oleh guru dan orang tua sebagai sarana pendidikan yang berguna bagi masa depan anak.
“Sanksi atau hukuman tersebut bertujuan untuk mendisiplinkan anak. Jaman saya masih mengajar dulu, tidak ada guru yang semena-mena memberi hukuman kepada murid tanpa alasan yang jelas. Hukuman yang diberikan pun sangat wajar dan terukur, tidak memukul atau menggunakan kekerasan fisik. Menurut saya, cara mendidik seperti itu akan menghasilkan anak-anak yang tahu tata krama dan menjunjung tinggi budi pekerti,” jelasnya.
Pak Guru Agus merasakan sekali bagaimana harmonisnya hubungan yang terjalin antara guru, orang tua murid, dan para murid. Dia masih ingat bagaimana para orang tua murid secara bergiliran memasak makanan lalu mengirimkannya kerumah guru. Bahkan sesekali dia diundang untuk makan bersama di rumah orang tua murid. Dengan begitu, jatah berasnya dari pemerintah sebanyak 10 kilogram per bulan cukup baginya, juga uang gaji bulanan sebesar Rp15.000,00 bisa dia simpan
Ujian Nasional
Pak Guru Agus sangat mengenal Ali Baham, baik di sekolah maupun di rumah. Di sekolah, Ali Baham sering memanfaatkan waktu luang dengan membaca buku diperpustakaan kecil sekolah. Sedangkan di rumah, Ali Baham tekun belajar mengaji dari kakeknya hingga khatam Al-Quran dan taat melaksanakan Sholatt lima waktu.
“Ketika dikelas V SD, dia termasuk anak yang cerdas. Saat akan dilakukan ujian nasional di ibukota kabupaten, saya mengusulkan kepada kepala sekolah, yaitu Pak Radiman, agar Ali Baham diikutsertakan. Kepala sekolah setuju, demikian juga penilik sekolah”, tutur PakGuru Agus.
Menjelang pelaksanaan ujian nasional, semua siswa peserta dari berbagai sekolah dasar di wilayah Kabupaten Fakfak dikumpulkan di satu tempat, termasuk Ali Baham dan kakak perempuannya, Habibah. Sebelumnya Pak Guru Agus berkoordinasi dengan kepala kampung dan para orang tua murid agar mereka mempersiapkan berbagai keperluan yang dibutuhkan para siswa selama mereka mengikuti ujian nasional di ibukota kabupaten.
“Lalu saya mempersiapkan tempat untuk menginap bagi para siswa dan keluarga yang menemani mereka. Saya meminjam dua rumah keluarga di Gwerpe. Setelah semua persiapan beres, tibalah hari yang dinantikan. Kami semua naik longboat dari Kotam menuju ibu kota kabupaten. Suasana riuh saat itu, seperti pindahan rumah, ramai sekali. Mama-mama sibuk menenteng berbagai perlengkapan masak dan bahan-bahan makanan untuk memenuhi kebutuhan selama anak-anak mereka mengikuti ujian nasional,”cerita Pak Guru Agus.
Ujian nasional dilangsungkan selama tiga hari. Ali Baham dan teman-teman peserta ujian nasional asal Kotam berjalan kaki dari rumah kerabat Pak Guru Agusdi Gwerpe menuju SD Yapis Fakfak, tempat pelaksanaan ujian nasional. Setelah masa ujian nasional tiga hari selesai, mereka pulang kembali ke Kampung Kotam dan selanjutnya menunggu hasilnya dengan hati berdebar. Beberapa hari kemudian, tibalah pengumuman. Hasilnya, Ali Baham dan Habibah dinyatakan lulus! Kelulusan tersebut tentu saja disambut dengan gembira.
Langkah berikutnya adalah memikirkan bagaimana kelanjutan sekolah kedua anak itu, yaitu Ali Baham dan Habibah. Walaupun mereka berhak mendapatkan beasiswa sebagai anak veteran tapi biaya lainnya tetap harus dipikirkan oleh keluarga. Pak Guru Agus melihat bahwa kedua anak itu cerdas sehingga layak didukung untuk melanjutkan sekolah yang lebih tinggi lagi.
‘Saya berusaha memberi motivasi dan keyakinan kepada orang tua mereka agar Ali Baham dan Habibah melanjutkan ke SMP. Selain itu, saya juga menemui paman mereka. Saya berharap mereka mau menanggung masing-masing satu anak agar beban biaya tidak terlalu berat. Namun pada akhirnya yang melanjutkan sekolah hanya Ali Baham saja, yaitu ke SMP Negeri I Fakfak, jelas Pak Guru Agus.