Jakarta – Dalam Pembahasan RUU Provinsi Papua Barat Daya, kata Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia Tandjung, terdapat tiga isu krusial. Permasalahan pertama terkait ibukota Provinsi Papua Barat Daya.
Dalam draf yang disusun Komisi II DPR tertulis Ibukota Provinsi yang tengah dibentuk itu adalah Kota Sorong. Sementara kebanyakan masyarakat Papua berharap agar ibukota Provinsi Papua Barat Daya terletak di Kabupaten Sorong.
“Jadi mereka itu inginnya agak di pinggir, di antara Tambrauw, Maybrat, sama Kabupaten Sorong, dan Sorong Selatan, tapi lokasinya itu di Kabupaten Sorong. Dan memang di Kota Sorong itu sudah tidak ada lahan lagi untuk membangun pemerintahan baru,” kata Doli dalam rapat Panitia Kerja (Panja) RUU Papua Barat Daya di ruang rapat Komisi II DPR RI, Senayan, Jakarta, Selasa, 30 Agustus 2022.
Selain penentuan Ibukota Provinsi Papua Barat Daya, isu krusial yang juga mencuat dalam pembahasan RUU Provinsi Papua Barat Daya adalah cakupan wilayah.
Komisi II DPR dalam draftnya menilai cakupan wilayah Provinsi Papua Barat Daya itu meliputi Kota Sorong, Kabupaten Sorong, Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Tambrauw, dan Kabupaten Maybrat.
Sedangkan terkait dua kabupaten lainnya, yakni Kabupaten Fakfak dan Kabupaten Kaimana masih ada perdebatan di masyarakat dari kedua kabupaten tersebut. Sebagian masyarakat ingin berada di Provinsi Papua Barat Daya, sementara sisanya tetap ingin berada di Papua Barat.
“Kemarin setelah dari Sorong, Kami berkesempatan berkunjung ke Kabupaten Fakfak, ketemu dengan masyarakat, kepala suku, dan raja-raja disana. Mereka kurang berkenan untuk bergabung di Papua Barat Daya,” aku Politisi dari Fraksi Partai Golkar ini.
Masalah lainnya yang ikut mencuat dalam pembahasan RUU Papua Barat Daya adalah permasalahan yang berada di Kabupaten Tambrauw. Pada pemilihan kepala daerah yang lalu terdapat istilah ‘meminjamkan’ distrik dari Kabupaten Manokwari kepada Kabupaten Tambrauw.
Usai pemilihan kepala desa, empat distrik yang dipinjamkan Kabupaten Manokwari  kemudian terpecah dan menjadi 11 distrik. Namun, 11 distrik itu ternyata masih berada dalam pinjaman Kabupaten Tambrauw. Dalam otonomi daerah, kata dia, ada istilah check in dan check out.
“Sebenarnya urusan check in, check out ini sepertinya, kalau saya tidak ada hubungannya dengan pembentukan provinsi. Ini tentu jadi PR (Pekerjaan rumah) kita bersama,” kata dia. (Tempo)