3 C
New York
Senin, Januari 20, 2025

Buy now

Minta PSU Dimana ?

Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang perdana penanganan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (PHPU Presiden) Tahun 2024 pada Rabu (27/3/2024) di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta. Perkara yang teregistrasi dengan Nomor 1/PHPU.PRES-XXII/2024 ini dimohonkan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 01 Anies Rasyid Baswedan dan Muhaimin Iskandar (Paslon 01) terhadap Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Nomor 360 Tahun 2024 tentang Penetapan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota Secara Nasional dalam Pemilihan Umum Tahun 2024.

Bambang Widjojanto selaku kuasa hukum Pemohon menyampaikan pokok-pokok permohonan. Pemohon mendalilkan hasil penghitungan suara untuk Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 02 (Paslon 02) Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka (96.214.691 atau 58,6 persen) diperoleh dengan cara yang melanggar asas pemilu dan prinsip penyelenggaraan pemilu yaitu bebas, jujur, dan adil secara serius melalui mesin kekuasaan serta pelanggaran prosedur.

“Ada berbagai modus kejahatan terhadap konstitusi dan cara-cara curang yang dilakukan Presiden Jokowi untuk mendukung Paslon 02 yang kesemuanya itu melahirkan berbagai kejahatan turunan dalam bentuk pelanggaran prosedur pemilu yang mempengaruhi hasil pemilu,” kata Bambang.

Bambang menjabarkan, dalil pengkhianatan terhadap konstitusi dan pelanggaran asas bebas, jujur, dan adil berangkat dari sejumlah argumentasi, mulai dari lumpuhnya independensi penyelenggara pemilu karena intervensi kekuasaan, nepotisme Paslon 02 menggunakan lembaga kepresidenan, pengangkatan penjabat kepala daerah yang masif dan digunakan untuk mengarahkan pilihan.

Penjabat kepala daerah menggerakkan struktur di bawahnya, keterlibatan aparat negara, pengerahan kepala desa, undangan presiden kepada ketua umum partai politik koalisi di Istana, intervensi ke MK, penyalahgunaan bantuan sosial (bansos) dengan melanggar Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (UU APBN) dan dampaknya bagi perolehan suara Paslon 02, serta kenaikan gaji dan tunjangan penyelenggara pemilu di momen kritis.

Sementara, dalil pelanggaran prosedur berangkat dari manipulasi daftar pemilih tetap (DPT), surat suara yang tercoblos pada Paslon 02, pengurangan suara Pemohon, politik uang, mencoblos lebih dari satu kali, tempat pemungutan suara (TPS) janggal, anak-anak ikut mencoblos, serta kecurangan KPU yang dilakukan melalui sistem teknologi informasi dan Sirekap (Sistem Informasi Rekapitulasi).

Bambang menjelaskan, sejumlah TPS dilaporkan tidak terdaftar sebelumnya dan beberapa TPS tidak melaksanakan pemungutan suara, seperti yang terjadi di Sleman, DIY, dilihat adanya ketidaksesuaian antara Keputusan KPU tentang Jumlah Tempat Suara Pemutakhiran dan Data Pemilih Pemilu Tahun 2024 dan laman KPU yang berkaitan dengan hasil penghitungan suara. Selain itu juga, Bambang menyebutkan, ditemukan anak-anak ikut mencoblos di TPS 7 Kelurahan Kemanisan, Curug, Kota Serang, Banten yang diduga ada unsur kesengajaan.

Menurut Pemohon, KPU selaku Termohon sengaja menerima pencalonan Paslon 02 secara tidak sah dan melanggar hukum, meskipun usia Cawapres Gibran pada saat mendaftar tidak memenuhi syarat sebagaimana Peraturan KPU (PKPU) Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

Menurut Pemohon, KPU menerima dan memverifikasi berkas pendaftaran Gibran sebagai bakal cawapres tanpa terlebih dahulu merevisi PKPU 19/2023. Hal ini terkonfirmasi dari pertimbangan hukum Putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Nomor 135-PKE-DKPP/XII/2023, bahwa seharusnya dalam rangka menindaklanjuti Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 mengenai persyaratan batas usia calon presiden dan calon wakil presiden, KPU wajib terlebih dahulu merevisi PKPU 19/2023. Namun, KPU melakukan perubahan PKPU dimaksud usai menerima dan memverifikasi pendaftaran Gibran.

Pemohon berpendapat, sebelum adanya anak Presiden Jokowi, Gibran menjadi Cawapres mendampingi Prabowo, elektabilitas Prabowo masih berhimpitan, sangat dekat, dan bersifat kompetitif dengan calon lain. Hal ini dapat dilihat dari beberapa hasil survei.

Sedangkan, setelah Gibran menjadi cawapres mendampingi Prabowo, ada tren dan indikasi yang tak terbantahkan bahwa presiden, menteri, dan perangkat desa meningkatkan intensitas aktivitas serta mengasosiasikan dukungannya secara langsung atau tidak langsung maupun terbuka dan tidak terbuka kepada Paslon 02.

Menurut Pemohon, tindakan presiden, menteri, penjabat kepala daerah, aparatur desa yang menyalahgunakan kewenangan dan memanfaatkan program pemerintah dan anggaran negara untuk kepentingan Paslon 02 dapat dikualifikasi sebagai suatu pelanggaran yang diatur dalam ketentuan Pasal 282 dan Pasal 283 ayat (1) UU Pemilu.

Dengan demikian, kata Pemohon, MK sudah dapat menyimpulkan dengan menyatakan hasil perolehan suara tidak dapat digunakan untuk menetapkan pemenangan pilpres.

Dalam petitumnya, Pemohon memohon kepada Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan batal Keputusan KPU Nomor 360 Tahun 2024 Tentang Penetapan Hasil Pemilihan Umum Secara Nasional. Pemohon juga meminta MK agar menyatakan diskualifikasi pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 02 Prabowo-Gibran sebagai peserta pemilu tahun 2024, termasuk juga membatalkan Keputusan KPU yang berkaitan dengan penetapan Paslon 02 tentang penetapan nomor urut pasangan calon peserta pemilihan umum presiden dan wakil atas nama Prabowo-Gibran. Selain itu,

Pemohon meminta MK agar memerintahkan KPU melakukan pemungutan suara ulang (PSU) tanpa mengikutsertakan Paslon 02 Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, serta memerintahkan kepada Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) untuk melakukan supervisi dalam rangka pelaksanaan amar putusan ini.

Sebelum menutup persidangan, Ketua MK Suhartoyo mengatakan, persidangan akan dilanjutkan Kamis, 28 Maret 2024 pukul 13.00 WIB. Persidangan tersebut beragendakan mendengarkan jawaban KPU selaku Termohon, keterangan Bawaslu, serta keterangan Pihak Terkait atau Paslon 02 Prabowo-Gibran.

“Hari ini kami menggugat dan lebih dari sekadar kecurangan dalam setiap tahapan pemilihan presiden yang baru lalu, yang mengejutkan bagi kita semua dan benar-benar menghancurkan moral adalah penyalahgunaan kekuasaan.” Demikian sepenggal pengantar dari Calon Presiden Nomor Urut 3 Ganjar Pranowo sebagai Pemohon Perkara Nomor 2/PHPU.PRES-XXII/2024. Sidang perdana perkara ini digelar pada Rabu (27/3/2024) di Ruang Sidang Pleno MK pukul 13.00 WIB.

“Saat pemerintah menggunakan segala sumber daya negara untuk mendukung kandidat tertentu, saat aparat keamanan digunakan untuk membela kepentingan politik pribadi, maka saat itulah, kita harus bersikap tegas bahwa kita menolak semua tindak intimidasi dan penindasan,” papar Ganjar yang juga didampingi oleh Calon Wakil Presiden Moh. Mahfud MD beserta tim kuasa hukum.

Sementara Moh. Mahfud MD mendorong agar Majelis Hakim Konstitusi berani menembus masuk ke relung keadilan substansif dan bukan hanya sekadar keadilan formal prosedural semata. Dalam pelanggaran pemilu, Mahkamah Konstitusi (MK) memperkenalkan pelanggaran TSM (terstruktur, sistematis, dan massif) yang kemudian diadopsi dalam sistem hukum Indonesia.

Selain itu, Mahfud juga menyebut MK di berbagai negara telah banyak melakukan judicial positivism dengan membatalkan pemilu yang penuh kecurangan dan pelanggaran prosedur, seperti di Australia, Ukraina, Bolivia, Kenya, Malawi, Thailand, dan beberapa negara.

“Akhirnya, kami tahu sungguh berat bagi MK dalam sengketa hasil pemilu ini. Pastilah ada yang datang untuk mendorong Yang Mulia agar permohonan ini ditolak. Dan pasti ada pula yang datang untuk mendorong agar permohonan ini dikabulkan. Yang datang tentu tidaklah harus orang ataupun institusi, melainkan bisikan hati Nurani yang datang bergantian di dada para hakim,” ujar Mahfud.

Sementara membacakan pokok permohonan, Deputi Tim Hukum Pemenangan Nasional Ganjar-Mahfud yang diwakili oleh Todung M. Lubis dan Annisa Ismail menyampaikan dalil-dalil pokok permohonan dari Perkara Nomor 2/PHPU.PRES-XXII/2024 secara bergantian. Menurut Pemohon telah terjadi kekosongan hukum dalam UU Pemilu untuk mencegah, menanggulangi, dan memulihkan akibat dari nepotisme yang melahirkan abuse of power yang terkoordinasi. Pelanggaran ini menjadi pelanggaran utama yang terjadi dalam Pilpres 2024.

Tindak nepotisme dilakukan oleh Presiden Joko Widodo dalam mendorong Gibran Rakabuming Raka sebagai pasangan calon Wakil Presiden Nomor Urut 2. Hal ini, sambung Annisa, melahirkan berbagai bentuk abuse of power di seluruh jenjang kekuasaan dan pemerintahan. Fakta ini tampak pada keberadaan UU Pemilu tidak memiliki mekanisme untuk menangani wujud pelanggaran TSM yang diatur, sehingga kekosongan hukum yang ada pada UU Pemilu terlihat jelas.

Berikutnya, Pemohon juga menilai instrumen penegak hukum pemilu yang saat ini tidak efektif yang tampak pada tidak adanya independensi dari Termohon dalam melakukan Pilpres 2024, DKPP melindungi Termohon dengan cara tidak mengindahkan putusannya sendiri, dan Bawaslu tidak efektif dalam menyelesaikan pelanggaran yang dilaporkan.

“Pemilu 2024 sarat pelanggaran dan nepotisme, ketidakefektifan penyelenggara pemilu terlihat dari tidak independennya penyelenggara. Bahkan terlalu formalistiknya Bawaslu terhadap berbagai pelanggaran yang terjadi di lapangan. Sehingga kewenangan MK terhadap pelanggaran TSM yang terjadi ini, MK yang didesain untuk melindungi konstitusi, maka tidak boleh terjebak sebagai Mahkamah Kalkulator,” urai Annisa dalam sidang yang dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo tersebut.

Berdasarkan dalil-dalil tersebut, Pemohon meminta agar Mahkamah membatalkan Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 360 Tahun 2024 tentang Hasil Penetapan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota secara Nasional dalam Pemilihan Umum Tahun 2024 tertanggal 20 Maret 2024, sepanjang mengenai Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden Tahun 2024.

Mendiskualifikasi Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka selaku Pasangan Calon Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 dalam Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 1632 tentang Penetapan Pasangan Calon Peserta Pemilihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden Tahun 2024 tertanggal 13 November 2023 dan Keputusan Komisi Pemiihan Umum Presiden Dan Wakil Presiden Tahun 2024 tertanggal 14 November 2023.

“Memerintahkan kepada Komisi Pemilihan Umum untuk melakukan pemungutan suara ulang untuk Pemilihan Presiden Dan Wakil Presiden Tahun 2024 antara Anies Rasyid Baswedan dan Muhaimin Iskandar sebagai Pasangan Calon Nomor Urut 1 dan Ganjar Pranowo dan M. Mahfud MD selaku Pasangan Calon Nomor Urut 3 di seluruh tempat pemungutan suara di seluruh Indonesia selambat-lambatnya pada 26 Juni 2024,” ucap Todung.

Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Nomor Urut 02 Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka (Paslon 02 Prabowo-Gibran) sebagai Pihak Terkait menghadirkan Ahli dan Saksi dalam sidang penyelesaian Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (PHPU Presiden) Tahun 2024 di Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (4/4/2024).yaitu pembuktian Pihak Terkait untuk Perkara Nomor 1/PHPU.PRES-XXII/2024 yang diajukan Anies Rasyid Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Perkara Nomor 2/PHPU.PRES-XXII/2024 yang dimohonkan Ganjar Pranowo-Mahfud MD sekaligus.

Ahli-ahli yang dihadirkan Prabowo-Gibran dalam sesi pertama pukul 08.00 sampai 13.15 WIB ialah Ahli Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Andi Muhammad Asrun, Abdul Chair Ramadhan, Aminuddin Ilmar, serta Margarito Kamis; Ahli Hukum Pidana dan Hukum Pembuktian Edward Omar Sharief Hiariej; serta Dosen Senior Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Halilul Khairi. Sedangkan Peneliti dan Konsultan Politik Hasan Nasbi serta Analis Politik Muhammad Qodari akan didengarkan keterangannya pada sesi berikutnya bersamaan dengan para saksi yang juga dihadirkan pada persidangan.

Edward yang kerap disapa Eddy mengatakan, kewenangan Mahkamah Konstitusi hanya sebatas terhadap hasil penghitungan suara sebagaimana Pasal 24C Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Menurut dia, dalil-dalil permohonan yang diajukan Pemohon baik Perkara Nomor 1/PHPU.PRES-XXII/2024 maupun Perkara Nomor 2/PHPU.PRES-XXII/2024  bukan menjadi kewenangan MK.

“Artinya, kalau Mahkamah Konstitusi ini diminta untuk mengadili sesuatu yang di luar kewenangannya sesungguhnya kuasa hukum Paslon 01 dan kuasa hukum Paslon 03 memaksa Mahkamah melanggar apa yang kita sebut yuridikitas rechtmatingheid atau asas yuridikitas yang berarti bahwa Mahkamah atau pengadilan tidak boleh memutus sesuatu yang berada di luar kewenangannya,” ujar Eddy di hadapan delapan hakim konstitusi yang dipimpin Ketua MK Suhartoyo di Ruang Sidang Pleno MK, Gedung 1 MK, Jakarta.

Mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) tersebut juga menyatakan, masalah keabsahan pencalonan Paslon 02 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka ialah persoalan sengketa proses dan bukan kewenangan MK untuk menyelesaikannya. Seharusnya, ketika Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengeluarkan keputusan terkait pasangan calon Prabowo-Gibran, maka pasangan calon lainnya yang keberatan atas keabsahan pencalonan tersebut dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Pencalonan Gibran pun tidak dipersoalkan pada saat debat yang diselenggarakan secara resmi oleh KPU. Menurut dia, ada pengakuan terhadap pencalonan Gibran secara diam-diam. Dengan demikian, menurut dia, dalil Pemohon yang mempermasalahkan pencalonan Gibran sudah tidak dapat dipersoalkan lagi.

Selain itu, Eddy juga menyinggung dalil Paslon 03 yang meminta beban pembuktian diwajibkan juga kepada Termohon atau KPU maupun Pihak Terkait. Paslon 03 akan membuktikan dalilnya atas adanya nepotisme, tetapi kemudian beban pembuktian berpindah kepada Termohon atau Pihak Terkait untuk membuktikan tidak adanya nepotisme. Namun, kata Edward, hal ini bertentangan dengan prinsip fundamental dalam pembuktian, karena beban pembuktian ada pada orang yang menggugat bukan yang tergugat, pembuktian bersifat wajib bagi yang mengiyakan bukan yang menyangkal, dan jika tergugat tidak mengakui gugatan maka penggugat harus membuktikan.

“Dengan demikian, dalil yang berkaitan dengan beban pembuktian haruslah dikesampingkan karena merusak asas-asas dalam teori hukum dan sendi-sendi dasar dalam hukum pembuktian,” tutur Edward.

Berikutnya, Edward juga menjawab dalil nepotisme yang dikaitkan dengan pelanggaran pemilu terstruktur, sistematis, dan masif (TSM) dan meminta MK melakukan penemuan hukum agar nepotisme menjadi bagian dari TSM. Menurutnya, memasukkan nepotisme sebagai bagian TSM berarti mengonstatir nepotisme sebagai kejahatan. Jika dipaksakan, kata dia, majelis hakim harus memperhatikan prinsip-prinsip yang membatasi hakim melakukan penemuan hukum dan penemuan hukum dalam hukum pidana tidak boleh merugikan terlapor, terperiksa, tersangka, tertuduh, atau terdakwa atas kekosongan hukum tersebut.

“Di satu sisi majelis hakim MK diminta mengadili nepotisme sebagai bagian TSM padahal diakuinya terdapat kekosongan hukum, artinya majelis hukum diminta melanggar asas legalitas,” ucap Edward.

Tidak Dapat Gugurkan

Selain itu, Ahli Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Andi Muhammad Asrun mengatakan, MK tidak bisa mengeluarkan putusan pada PHPU Presiden seperti putusan yang pernah dikeluarkan pada sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Kepala Daerah (PHPU Kada). Diketahui bahwa MK pada PHPU Kada pernah mendiskualifikasi calon kepala daerah dalam putusannya. Namun, Andi mengatakan, MK tidak dapat menggugurkan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden (cawapres) dan MK tidak pernah mengenal diskualifikasi pada putusannya.

“Diminta menggugurkan Gibran, hanya Prabowo bertanding dicari gantinya, ini tidak sesuai dengan sistem hukum, ini pendapat yang tidak berdasar hukum. Kemudian Pak Prabowo-Gibran misal didiskualifikasi, putusan MK tidak pernah mengenal diskualifikasi, silakan lihat, kaji,” kata Andi.

Sementara, saat pendalaman, tim kuasa hukum Anies-Imin menyinggung putusan MK yang mendiskualifikasi Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Sabu Raijua Orient Patriot Riwu Kore dan Thobias Uly karena tidak memenuhi syarat pencalonan, bahwa Orient terbukti memiliki dua kewarganegaraan, yakni Indonesia dan Amerika Serikat. Saat tim kuasa hukum Anies-Imin menanyakan terkait upaya hukum yang dapat ditempuh untuk mencari keadilan apabila belum bisa diselesaikan sebelumnya dan juga tidak bisa diselesaikan di MK, Andi pun menjawab, “ah itu soal nanti Pak, itu soal politik hukum ya, endak bisa dibahas sekarang perlu rapat DPR yang baru ini dengan pemerintah Presiden Prabowo-Gibran,” tutur Andi.

Hal yang serupa juga disampaikan Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Abdul Chair Ramadhan. Menurut dia, kewenangan MK dalam perselisihan hasil pemilihan umum hanya terhadap hasil penghitungan suara, sebagaimana ketentuan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang menyatakan, dalam hal terjadi perselisihan hasil pemilu presiden dan wakil presiden, paslon dapat mengajukan keberatan kepada MK dalam waktu paling lama tiga hari setelah penetapan hasil pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Keberatan sebagaimana dimaksud hanya terhadap hasil penghitungan suara yang memengaruhi penentuan terpilihnya pasangan calon atau penentuan untuk dipilih kembali pada pemilu presiden dan wakil presiden.

“Frasa hanya terhadap hasil penghitungan suara bermakna adalah pembatasan dan itu qath’i, tetap, diksi hanya merupakan kata kunci pembatasan itu,” kata Abdul Chair.

Keterangan tak jauh berbeda juga diungkapkan Ahli Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Aminuddin Ilmar. Dia mengatakan, sebagaimana Pasal 24C UUD 1945 yang menyatakan kewenangan MK dalam memutus PHPU khususnya pemilihan presiden dan wakil presiden, berdasar pada dua hal pokok, yaitu apakah MK akan melihat penetapan hasil perolehan suara yang ditetapkan KPU sudah sesuai dan sah serta apakah dalam penetapan hasil perolehan suara tersebut terhadap terdapat hal yang tidak sesuai dengan yang diajukan para Pemohon, maka Mahkamah akan mengambil putusan sendiri berkaitan dengan penetapan hasil perolehan suara tersebut.

“Bagaimana peran Mahkamah di dalam melakukan penilai terhadai penyelesaian perselisihan hasil pemilu apakah sudah sesuai dengan yang menjadi ketentuan ataukah tidak, dalam arti Mahkamah jangan sampai melakukan penilaian di luar dari apa yang tidak berkaitan dengan kepentingan perselisihan hasil pemilihan umum,” ucap dia.

Tidak Ada Korelasi Penjabat Kepala Daerah dan Kemenangan Prabowo-Gibran

Ahli Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara Margarito Kamis juga mengatakan, pemilu dan pilkada tidak dapat disamakan karena rezimnya berbeda sehingga MK tidak bisa mengambil perspektif-perspektif atau tindakan-tindakan di PHPU Kada diterapkan pada PHPU Presiden. Di sisi lain, menurut Margarito, tidak ada pula korelasi antara pengangkatan penjabat kepala daerah dan kemenangan Prabowo-Gibran dalam Pemilu 2024.

“Saya berpendapat tidak. Bagaimana caranya memenangkan orang itu dengan mengangkat penjabat gubernur terus Prabowo-Gibran menang? Bagaimana caranya,” kata Margarito.

Tidak Ada Keluhan

Berikutnya, Dosen Senior IPDN Halilul Khairi mengeklaim, selama ini pengangkatan penjabat kepala daerah oleh presiden maupun gubernur tidak dikeluhkan di internal pemerintah maupun masyarakat, tidak ada keluhan berarti atau fundamental. Hal ini menjadi menarik ketika penunjukkan penjabat dilakukan secara masif ketika terdapat pemotongan atau penyesuaian masa jabatan kepala daerah untuk keserentakan pilkada sehingga menimbulkan banyak kekosongan jabatan kepala derah.

Halilul membantah apabila sekitar 254 penjabat kepala daerah dapat dijadikan sebagai mesin untuk pemenangan calon tertentu—dalam konteks ini—Paslon 02. Aceh menjadi daerah yang paling banyak penjabat kepala daerahnya, ada 23 penjabat kepala daerah dari 24 daerah, tetapi bukan Paslon 02 yang menang di daerah tersebut, melainkan Paslon 01.

“Kalau dipakai untuk memobilisasi atau kita menggunakan preposisi makin banyak penjabat kepala daerah maka makin efektif penambahan suara dari pihak pemerintah, logikanya Aceh adalah perolehan suara tertinggi karena dia adalah (jumlah) penjabat tertinggi provinsi se-Indonesia, nyatanya (Paslon) 02 hanya 24 persen,” tutur Halilul.

Selain ahli-ahli di atas, Pihak Terkait juga menghadirkan saksi-saksi bernama Ahmad Doli Kurnia dan Supriyanto selaku Anggota DPR Komisi II, Abdul Wachid dan Ace Hasan Syadzily selaku Anggota DPR Komisi VIII, R. Gani Muhammad sebagai Kepala Biro Hukum Sekretariat Jenderal Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), serta Andi Batara Lifu sebagai Direktur Fasilitasi Kepala Daerah dan DPD Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri.

Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Hasyim Asy’ari mengatakan hingga terakhir persidangan perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilpres, pihaknya tidak menemukan adanya kesalahan perolehan suara akhir yang disengketakan.

Padahal, kata dia, dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 Pasal 473 ditentukan nama sengketa itu sebagai Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU). Apabila berupa hasil, maka yang diperkarakan pemohon kepada termohon adalah perolehan suara hasil pemilu secara nasional.

“Sampai dengan pemeriksaan terakhir hari ini, tidak sama sekali soal suara saya di TPS ini seharusnya sekian, tapi ditulis KPU sekian, tidak ada,” kata Hasyim usai sidang lanjutan perkara PHPU Pilpres di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Jumat. 5 April 2024 diunggah dari youtube mk.ri,

Ia juga menegaskan bahwa dalam Pasal 6A UUD 1945 telah didalilkan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden untuk ditentukan menjadi pemenang harus memperoleh suara lebih dari 50 persen jumlah suara sah nasional dan persebaran menangnya lebih dari sejumlah provinsi di Indonesia dengan perolehan 20 persen suara.

Dengan demikian, penentu terpilihnya para calon berdasarkan perolehan suara. Ia pun mempertanyakan mengapa pemohon tidak mengajukan dalil tentang selisih perolehan suara yang mana seharusnya menjadi gugatan utama dalam PHPU.

Hasyim menilai, Hakim Konstitusi lebih mempertimbangkan fakta yang diajukan di dalam persidangan dibandingkan dengan keterangan dari luar persidangan. Untuk itu, lanjutnya, KPU menyerahkan sejumlah alat bukti yang berkaitan dengan perolehan suara di dalam persidangan, di antaranya adalah formulir D Hasil di tingkat kecamatan dan tingkat kabupaten.

Pihaknya juga memberikan keterangan terkait ada atau tidaknya selisih suara di dalam formulir tersebut, ada keterangan keberatan atau tidak, dan juga tanda tangan saksi. Hasyim menegaskan, itu adalah cara KPU untuk berbicara di dalam persidangan.

“Kami yakin pasti Hakim MK pasti mempertimbangkan apa yang didalilkan dan apa yang dibuktikan oleh masing-masing pihak, termasuk apa yang dijawab oleh KPU sebagai pihak termohon dan bukti apa yang diajukan oleh pihak KPU,” pungkasnya.

Sebagai informasi, MK tengah menangani Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024. MK menerima permohonan sengketa hasi pemilu dari dua pasangan calon presiden dan wakil presiden (paslon) yaitu Paslon Nomor Urut 01 Anies Rasyid Baswedan dan Muhaimin Iskandar serta Paslon Nomor Urut 03 Ganjar Pranowo dan Mahfud MD. Kedua permohonan itu diregistrasi dengan Perkara Nomor 1/PHPU.PRES-XXII/2024 untuk Anies-Imin dan Perkara Nomor 2/PHPU.PRES-XXII/2024 untuk Ganjar-Mahfud. (*)

Related Articles

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Stay Connected

0FansSuka
0PengikutMengikuti
0PelangganBerlangganan
- Advertisement -spot_img

Latest Articles

error: Content is protected !!